Radarjambi.co.id-Kurikulum Merdeka hadir dengan tekad untuk membebaskan metode pembelajaran dari pola lama yang rigid dan seragam. Melalui pendekatan ini, siswa diharapkan dapat belajar sesuai dengan minat serta bakat mereka, sementara guru diberikan kesempatan untuk berinovasi dalam penyampaian materi.
Namun, di balik istilah “merdeka” yang megah ini, muncul pertanyaan penting yang perlu dipikirkan bersama: merdeka untuk siapa sebenarnya? Apakah kebebasan itu benar-benar dirasakan oleh siswa dan guru di dalam kelas, atau hanya sebatas konsep kebijakan di tingkat pusat?
Dalam praktiknya, pelaksanaan Kurikulum Merdeka di wilayah seperti Kerinci memperlihatkan kenyataan yang tidak selalu sejalan dengan harapan.
Kesiapan sekolah yang bervariasi, fasilitas yang terbatas, serta pemahaman guru yang belum merata menyebabkan arti kebebasan belajar menjadi tidak jelas. Di satu sisi, kurikulum ini memberikan fleksibilitas, tetapi di sisi lain justru menciptakan kebingungan dalam penerapannya.
Kebebasan yang seharusnya memandu siswa menuju pengalaman belajar yang bermakna, terkadang dianggap hanya sebagai pengurangan tuntutan akademis tanpa tujuan yang jelas.
Keadaan ini menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka bukan sekadar tentang mengganti kurikulum lama dengan istilah baru, melainkan bagaimana kebijakan pendidikan benar-benar memperhatikan kondisi yang ada di lapangan.
Jika kebebasan belajar tidak diimbangi dengan kesiapan sistem, pendampingan yang konsisten, serta pemahaman yang menyeluruh, maka pertanyaan “Kurikulum Merdeka, merdeka untuk siapa? ” akan terus menjadi relevan untuk diajukan sebelum kita menggali lebih dalam tentang janji, tantangan, dan realitas pelaksanaannya.
Apakah Kurikulum Merdeka benar-benar memberi kebebasan kepada para siswa, atau justru hanya terdengar merdeka di kertas saja?
Kurikulum Merdeka datang membawa janji besar bagi dunia pendidikan Indonesia. Ia diharapkan bisa menjadi solusi bagi sistem belajar yang kaku, seragam, dan terasa membebani. Dengan kurikulum ini, siswa diharapkan bisa belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, sementara guru diberi ruang untuk merancang pembelajaran yang lebih sesuai dengan kehidupan nyata dan bermakna. Secara konsep, gagasan ini terdengar sangat baik dan penuh harapan.
Dalam narasi resmi, Kurikulum Merdeka ingin memindahkan pusat pembelajaran dari guru ke siswa. Siswa tidak lagi dianggap sebagai orang yang hanya menerima materi, melainkan sebagai pribadi yang aktif, bisa berpikir, mengeksplorasi, dan mencipta. Pembelajaran berbasis proyek diperkenalkan agar siswa tidak hanya menghafal teori, tetapi mampu menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan nyata. Itulah seharusnya makna dari kata “merdeka”.
Namun, realitanya tidak se-simple itu. Kurikulum tidak akan hidup hanya karena adanya konsep atau dokumen kebijakan. Ia harus berhadapan langsung dengan kondisi sekolah yang sangat beragam. Siap tidaknya guru, fasilitas sekolah, budaya belajar siswa, serta dukungan kebijakan menjadi penentu utama keberhasilan Kurikulum Merdeka. Jika aspek-aspek tersebut belum siap, janji besar kurikulum ini bisa jadi hanya slogan kosong.
Secara filosofis, Kurikulum Merdeka selaras dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara, yang mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses memerdekakan manusia sesuai dengan kodratnya. Pendidikan seharusnya membimbing, bukan memaksa. Namun, di lapangan, makna kebebasan ini sering diartikan salah. Kebebasan belajar kerap dipahami sebagai pengurangan tuntutan akademik, bukan sebagai kesempatan untuk belajar secara lebih bertanggung jawab dan bermakna.
Itulah tantangan awal Kurikulum Merdeka. Jika kebebasan tidak disertai pemahaman yang cermat, arah pembelajaran justru menjadi tidak jelas. Alih-alih melahirkan siswa yang mandiri dan kritis, yang muncul justru adalah siswa yang bingung dalam praktik belajar. Ini menunjukkan bahwa kebebasan belajar bukan soal mengurangi aturan, melainkan tentang membangun kesadaran belajar yang lebih dewasa.
Dengan demikian, janji besar Kurikulum Merdeka sebenarnya membawa peluang perubahan yang penting. Namun, peluang itu hanya bisa terwujud jika konsep idealnya diubah menjadi praktik nyata dan didukung oleh kesiapan semua pihak. Tanpa itu, pertanyaan “merdeka untuk siapa?” akan tetap relevan.
Apakah Kurikulum Merdeka benar-benar siap diterapkan di semua kelas, atau justru membuat sekolah terburu-buru tanpa sempat belajar bertahap?
Secara teori, Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi guru untuk menyesuaikan materi, metode, dan cara penilaian sesuai kebutuhan siswa. Dalam dokumen, kurikulum ini terdengar menggiurkan. Namun, ketika diterapkan di kelas, ide-ide tersebut sering bertabrakan dengan kenyataan sekolah yang beragam dan berbeda.
Masalah utamanya bukan pada konsep Kurikulum Merdeka sendiri, melainkan pada kesiapan sekolah dalam menerapkannya. Tidak semua sekolah memiliki kondisi yang sama. Ada yang sudah memiliki fasilitas memadai, pelatihan guru yang cukup, dan budaya belajar yang mendukung. Namun, banyak sekolah yang masih menghadapi keterbatasan di berbagai aspek, seperti kurangnya bantuan, guru yang belum siap, dan kekurangan fasilitas.
Dalam penerapan, guru harus mampu memahami tujuan pembelajaran, mengatur proses, merancang penilaian, hingga membuat materi ajar secara mandiri. Tuntutan ini membutuhkan kemampuan yang kuat dan waktu yang cukup. Sayangnya, tidak semua guru menerima pelatihan yang merata dan terus-menerus. Akibatnya, pemahaman tentang Kurikulum Merdeka tidak seragam bahkan menyebabkan kebingungan dalam pelaksanaannya.
Perbedaan pemahaman ini memengaruhi proses belajar mengajar. Ada guru yang mampu mengadaptasi kurikulum secara kreatif dan sesuai konteks, tetapi ada juga yang hanya mengganti kata-kata tanpa mengubah metode pembelajaran lama. Di sisi lain, siswa juga harus beradaptasi dengan sistem pembelajaran yang terus berubah, tanpa selalu dijelaskan secara jelas mengenai tujuan dari perubahan tersebut.
Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan Kurikulum Merdeka tidak bisa dilihat hanya dari kurikulum itu sendiri. Kuncinya adalah manajemen perubahan yang baik. Perubahan metode belajar harus disertai bimbingan yang cukup, waktu adaptasi yang realistis, serta kebijakan yang memperhatikan situasi di lapangan. Tanpa itu, jarak antara ide dan praktik akan semakin lebar.
Pada akhirnya, Kurikulum Merdeka seharusnya menjadi sarana untuk melahirkan pembelajaran yang lebih manusiawi, bukan menambah beban bagi guru dan siswa. Jika realitas di kelas diabaikan, maka semangat kemerdekaan belajar hanya akan tetap menjadi konsep indah yang sulit dirasakan manfaatnya.
Apakah kebebasan belajar benar-benar membawa perkembangan bagi siswa, atau justru membuat arah pendidikan menjadi tidak jelas?
Kurikulum Merdeka hadir dengan janji besar, yaitu memberi ruang bagi siswa untuk belajar sesuai minat, bakat, dan potensi mereka. Dalam konsep yang ideal, kebebasan ini seharusnya membentuk siswa yang mandiri, kritis, dan bertanggung jawab atas proses belajarnya sendiri. Namun, di dunia nyata, kebebasan belajar sering kali tidak memiliki arah yang jelas.
Di banyak sekolah, kata "merdeka" sering dipahami sebagai pengurangan tuntutan akademik. Tugas dinilai bisa diminimalkan, target belajar diturunkan, dan disiplin akademik tidak lagi menjadi prioritas. Akibatnya, kebebasan yang seharusnya memerdekakan justru bisa meredupkan semangat belajar siswa. Mereka merasa lebih bebas, tetapi tidak selalu lebih bertanggung jawab.
Faktanya, kebebasan dalam pendidikan tidak pernah datang sendirian. Ia selalu beriringan dengan tanggung jawab. Ki Hajar Dewantara sejak awal menekankan bahwa kemerdekaan belajar harus tetap memiliki panduan. Artinya, siswa diberi ruang untuk berkembang, tetapi tetap dalam koridor nilai, tujuan, dan arah pendidikan yang jelas. Tanpa itu, kebebasan bisa berubah menjadi pembiaran.
Masalah semakin terasa ketika guru diminta menjadi fasilitator pembelajaran, tapi tidak semua gurupun siap dengan peran baru ini. Mengelola kelas yang fleksibel membutuhkan kemampuan mengajar yang baik, perencanaan yang kuat, serta bimbingan yang konsisten. Ketika hal itu tidak terpenuhi, proses belajar menjadi longgar, tetapi tidak memiliki makna yang jelas.
Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa tantangan Kurikulum Merdeka bukan terletak pada konsep kebebasannya, tetapi pada kesiapan sistem pendidikan dalam mengelola kebebasan ini. Kebebasan belajar membutuhkan desain pembelajaran yang terarah, indikator capaian yang jelas, serta bimbingan yang berkelanjutan. Tanpa hal-hal tersebut, kebebasan justru berisiko menghilangkan esensi pendidikan: membentuk manusia yang berpengetahuan, berkarakter, dan bertanggung jawab.
Akhirnya, pertanyaan penting yang perlu dipikirkan adalah: apakah Kurikulum Merdeka benar-benar memerdekakan siswa, atau hanya memberi kebebasan tanpa arah yang jelas? Jika kebebasan tidak disertai dengan orientasi dan tuntunan, maka kemerdekaan belajar bisa berubah menjadi kebingungan belajar.
Kenapa dunia pendidikan kita selalu terlihat sibuk mengganti kurikulum, tapi belum terasa benar-benar berubah?
Perubahan kurikulum bukanlah hal baru dalam sejarah pendidikan Indonesia. Setiap kali ada kurikulum baru, selalu ada semangat untuk memperbaiki dan mengembangkan sistem pendidikan. Kurikulum Merdeka pun hadir dengan visi yang progresif, yaitu pembelajaran yang lebih fleksibel, berfokus pada siswa, dan sesuai dengan kebutuhan masa kini. Namun, masalah muncul ketika perubahan terjadi terlalu cepat, sementara guru dan siswa belum siap sepenuhnya menerimanya.
Bagi sekolah dan guru, perubahan kurikulum bukan hanya sekadar mengganti dokumen atau istilah. Ini juga memerlukan penyesuaian cara berpikir, metode mengajar, cara menilai, hingga budaya belajar.
Jika kurikulum baru diterapkan sebelum kurikulum lama benar-benar berkembang, guru dan siswa akan terus menghadapi siklus penyesuaian yang berulang. Energi yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas belajar justru terbuang untuk menyelesaikan tugas administratif dan menyesuaikan metode teknis.
Masalah ini menunjukkan bahwa tantangan utama dalam pendidikan tidak hanya dari desain kurikulum itu sendiri, tetapi juga dari konsistensi kebijakan. Kurikulum membutuhkan waktu untuk diujicobakan, dievaluasi, dan diperbaiki secara perlahan.
Tanpa konsistensi, perubahan kurikulum bisa jadi proyek jangka pendek yang tidak mampu memberikan dampak mendalam terhadap proses belajar-mengajar.
Dalam praktiknya, banyak sekolah masih berada dalam proses transisi. Beberapa menerapkan Kurikulum Merdeka secara terbatas, sementara yang lain masih menggunakan kurikulum lama. Kondisi ini menyebabkan ketidakmerataan dalam penerapan dan kebingungan di lapangan. Ketika kebijakan terus berubah, sekolah terpaksa menyesuaikan diri tanpa arah yang jelas untuk jangka panjang.
Kurikulum Merdeka memang punya potensi besar untuk membawa perubahan positif. Namun, potensi tersebut hanya bisa terwujud jika didukung oleh kebijakan yang konsisten, pendampingan yang terus-menerus, dan evaluasi yang jujur terhadap kondisi di lapangan.
Pendidikan membutuhkan stabilitas agar semua pihak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.
Akhirnya, pertanyaan yang seharusnya diajukan bukan hanya “kurikulum apa yang terbaik”, tetapi seberapa konsisten kita memberikan ruang bagi kurikulum itu untuk bekerja dengan baik. Tanpa konsistensi kebijakan, bahkan kurikulum yang baik pun bisa kehilangan maknanya.
Kurikulum Merdeka, merdeka untuk siapa?
Pertanyaan ini menjadi refleksi penting setelah melihat jarak antara ide yang ada dan kondisi di lapangan. Kurikulum Merdeka hadir dengan semangat memberikan kebebasan kepada peserta didik, memberi ruang bagi guru untuk berinovasi, serta menyesuaikan pembelajaran dengan perkembangan zaman. Namun, di lapangan, kebebasan tersebut belum dirasakan secara merata oleh semua pihak.
Masalah-masalah muncul mulai dari kesiapan sekolah yang berbeda, pemahaman guru yang tidak seragam, hingga makna kebebasan belajar yang kerap disalahartikan. Di beberapa kelas, kebebasan itu justru diartikan sebagai leluasa tanpa tujuan. Di sisi lain, guru terbebani dengan tuntutan administrasi, adaptasi teknologi, dan perubahan kebijakan yang terus berlangsung cepat.
Perubahan kurikulum yang terus-menerus juga menunjukkan ketidak konsistenan dalam kebijakan pendidikan. Kurikulum yang seharusnya diberi waktu untuk berkembang dan dievaluasi justru sering diubah sebelum dampaknya benar-benar terlihat. Akibatnya, fokus dalam pendidikan bergeser dari upaya meningkatkan kualitas pembelajaran menjadi sekadar menyesuaikan diri dengan aturan baru.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Kurikulum Merdeka belum benar-benar memberikan kemerdekaan bagi semua pihak. Kemerdekaan masih terasa lebih sebagai konsep, bukan pengalaman nyata. Untuk Kurikulum Merdeka benar-benar bermakna, diperlukan kesiapan sumber daya manusia, dukungan yang berkelanjutan, pemahaman yang utuh tentang makna kebebasan belajar, serta kebijakan pendidikan yang konsisten dan berpihak pada kondisi nyata di lapangan.
Jika tidak, Kurikulum Merdeka hanya akan menjadi nama besar tanpa dampak mendalam. Dan pertanyaan “merdeka untuk siapa?” akan terus bergema di tengah ruang-ruang kelas kita.(*)
Penulis folin volinda Mahasiawi IAIN Kerinci
Implementasi Prinsip Ekowisata dalam Pengelolaan Kawasan Candi Borobudur
Ketidaksiapan Guru dan Sekolah Dalam Penerapan Kurikulum Merdeka
Rendahnya Literasi Siswa dalam Proses Pembelajaran di Sekolah
MBG: Solusi Menuju Indonesia Sehat atau Sekadar Permainan Politik?
Strategi Pengembangan Daya Tarik Wisata Kawasan Lembah Colol Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur
Pentingnya Perencanaan Kurikulum yang Sitematis Dalam Dunia Pendidikan