Radarjambi.co.id-Pantun adalah ekspresi lisan yang paling umum dalam budaya Melayu. Secara historis pantun telah tersebar sejak abad ke-15. Pantun adalah puisi rakyat paling mapan yang bentuk awalnya berupa nyanyian.
Pantun yang tertulis pertama kali tercatat dalam Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai dan dikutipkan dalam Syair Ken Tambuhan. Hasil pencatatan tersebut merupakan turunan dari pantun lisan di periode sebelumnya.
Pantun memiliki nama lain di beberapa wilayah. Kalang di Bajau, Wewangsalan di Bali, Umpasa atau Ende-Ende di Batak, Pamiula di Iranun, Parikan atau Kentrung di Jawa, Sudawil di Kadazandusun, Badendang Kapata di Maluku, Pantung di Manado, Kalindaqdaq di Mandar, Panuntun di Minangkabau, Kabanti di Muna, Nyuriah di Seluma, Cuit-Cuitan atau Rendai di Serawai, Sisindiran di Sunda dan Londe di Toraja.
Berdasar pendapat dua tokoh ahli adat Minangkabau, yaitu Dt. Help Tj. Barulak Batusangkar dan Dt. Tumbijo Dirajo Batipuah, Itsing – seorang penjelajah dari Tiongkok – datang ke Negeri Saruaso dan Pariangan Padang Panjang pada tahun 455 SM. Salah satu agendanya mempelajari kisaran 50.000 peribahasa, mamang, bidal, dan pantun Minangkabau.
Sementara dalam catatan Jan Huijghen van Linchoten – seorang penjelajah Belanda terkenal – disebutkan bahwa pada tahun 1600 bahasa Melayu sudah sangat terkenal, bahkan dianggap sebagai bahasa terbaik yang sangat halus. Pada masa itu seseorang yang fasih berbahasa Melayu akan dipandang sebagai orang berpendidikan dan beradab.
Penyebaran pantun di wilayah Semenanjung Malaka mengikuti dinamika perdagangan di masa abad ke-14 hingga abad ke-17. Selanjutnya meluas ke seluruh wilayah Nusantara yang kala itu menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Pantun merupakan representasi kecerdasan retorika bahasa dan sastra orang Melayu. Orang Melayu mahir dalam berima dan terbiasa dengan rima timbal balik. Pantun lahir dari permainan bunyi, pertimbangan rima yang ketat, dan mengandung kearifan lokal masyarakat Melayu. Orang Melayu menjadikan pantun – khususnya pantun jenaka – sebagai nyanyian yang dibanggakan.
Hoesein Djajadiningrat mengungkapkan bahwa pantun tercatat sebagai salah satu produk budaya Melayu yang telah menjadi objek studi para peneliti Barat sejak tahun 1688. Salah satunya adalah Francois-Rene Daillie yang kemudian menulis sebuah buku berjudul Alam Pantun Melayu: Studies on The Malay Pantun yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia.
Pada tahun 1877 Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda – seorang sahabat pujangga Raja Ali Haji – menerbitkan buku berjudul Perhimpunan Pantun Melayu. Beliau merupakan pengarang pada masa Kerajaan Riau-Lingga (awalnya bernama Kerajaan Riau-Lingga-Johor Pahang sebelum dipecah menjadi dua oleh Inggris dan Belanda pada 1824). Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda diyakini sebagai penulis pertama Melayu yang mengubah tradisi pantun lisan menjadi tradisi pantun tulis.
Pada abad ke-19, Cuddon menemukan bahwa pantun mulai diperkenalkan oleh Ernest Fouinet ke dalam sastra Barat. Selanjutnya pantun mempengaruhi perkembangan penulisan puisi Barat. Hal ini dibuktikan dengan adanya penyair Eropa dan Amerika yang menuliskan pantun. Beberapa penyair Amerika yang menulis pantun adalah John Ashbery dengan Pantoum, Carolyn Kizer Parent’s Pantoum, dan Donald Justice Pantoum dof The Great Depression. Jaroslav Seifert – penyair Czechoslovakia peraih Nobel Sastra tahun 1984 – menulis pantun setelah pulang dari lawatan ke Indonesia.
Ia berhasil membuat buku pantun berjudul Dvanáct pantoum? o lásce; Dua Belas Pantun tentang Cinta. Banyak pengarang Rusia menggunakan bentuk pantun untuk puisi mereka. Beberapa diantaranya adalah Valery Bryusov (1873-1924), Adelina Adalis (1900-1969), dan Nikolai Gumilev (1826-1921).
Pantun juga menarik para peneliti Barat untuk melakukan penelitian. Misalnya H. Overback, A.W. Hamilton, Francois-Rene Daille (Perancis) dan A.N. Veselovsky (Rusia). Pantun Melayu menyebar dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa, seperti bahasa Perancis, Rusia, Inggris, Italia, dan Polandia.
Para pakar yang melakukan kerja penerjemahan tersebut adalah Theodore de Banville, Louisa Siefert, Leconte de Lisle, Charles Baudelaire (Perancis), Permyakov (Rusia), Hamilton, William Marsden (Inggris), dan Stiller (Polandia).
Khusus penyebaran pantun di Prancis, Aveling memberi catatan bahwa pantun diperkenalkan ke dalam sastra Prancis oleh Victor Hugo, Th. Gautier, dan Leconte de Lisle. Pantun dalam tradisi budaya Prancis – dan Inggris – menjadi subgenre sastra, mereka menyebut pantun dengan istilah pantoum.
Pantun menjadi populer di kalangan penyair Prancis setelah Victor Hugo menerbitkan Les Orientales yang mencakup versi terjemahan pantun oleh penyair Ernest Fouinet dalam bahasa Prancis. Penyair Prancis lain yang menulis pantun adalah Charles Baudelaire dalam judul Harmonie du Soir; Harmoni Malam.
Prancis memiliki komunitas sahabat pantun yang bernama Pantun Sayang - Les Amis Francophones du Pantoun (Sahabat Pantun yang Berbahasa Prancis). Asosiasi Pantun Prancis yang berdiri sejak 2012 ini merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan untuk menciptakan tempat pertemuan bagi para pecinta pantun di seluruh dunia.
Asosiasi yang diprakarsai oleh Jérôme Bouchaud, Jean-Claude Trutt and Georges Voisset ini berupaya menjembatani tradisi pantun Melayu dengan budaya Francophone melalui berbagai kegiatan dan publikasi terutama di luar Asia Tenggara.
Asosiasi ini menerbitkan majalah elektronik yang berisi ulasan digital tentang pantun. Majalah digital tersebut bernama Pantouns dan diterbitkan secara berkala setiap tiga bulan sekali. Pantun Sayang – Amis Francophones du Pantoun juga menerbitkan artikel, buku, dan kumpulan pantun dalam bentuk cetak dan digital.
Situs web ini juga menerima kiriman pantun dan artikel tentang pantun dalam berbagai bahasa. Terbit dalam bahasa Prancis dan Inggris. Khusus kiriman pantun dari Indonesia dan Malaysia akan dimuat dalam bentuk asli bahasa Indonesia atau bahasa Melayu.
Dengan demikian, lebih dari dua abad pantun telah disebarkan, dikaji, ditulis, dan diterjemahkan ke berbagai penjuru dunia. Persebaran pantun dalam catatan Ding Choo Ming yang berjudul That Mighty Pantun and Its Tributaries menyebutkan bahwa pantun di dunia Indo-Melayu diibaratkan sebagai sungai besar yang memiliki jaringan anak-anak sungai yang kompleks di seluruh dunia.
Pada masa sekarang pantun telah diakui secara international. Pada tanggal 17 Desember 2020 tradisi pantun ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda dalam sidang ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Kantor Pusat UNESCO, Paris, Prancis.
Sementara pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 163/M/2025 telah resmi menetapkan tanggal 17 Desember sebagai Hari Pantun Nasional. Dalam perayaan Hari Pantun Nasional perdana ini Himpunan Sarjana Sastra Indonesia (HISKI) Komisariat UAD mengadakan acara diskusi pantun sekaligus peluncuran antologi Pantun Negeri Bahari.
Pantun Melayu telah berhasil menjelajahi dunia. Sudah selayaknya tradisi ini dirayakan. Merayakan Hari Pantun Nasional menjadi salah satu cara untuk menjaga identitas budaya, memperkuat local wisdom, dan menghidupkan kembali tradisi pantun dalam kehidupan keseharian. Pantun akan senantiasa memberi inspirasi bagi kebijaksanaan, sarana pendidikan, informasi dan hiburan. (*)
Penulis : Wachid E. Purwanto Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, UAD
Minat Wisatawan Berkunjung ke Wisata Gunung Padang Sumatra Barat
Cegah Kesalahan Penulisan Data Pribadi, Warga Diimbau Lebih Teliti dalam Urusan Administrasi Hukum
Perlawanan Perempuan terhadap Patriarki dalam Cerpen Namaku Hiroko Karya Nh
Pesan Tegas Bupati Saat Lantik Pejabat: Jaga Amanah, Hindari Hedonis dan Flexing