Tobat Ekologis dan Ilusi Kepatuhan Regulasi Lingkungan

Luka Alam, Kegagalan Negara, dan Jalan Pemulihan

Senin, 15 Desember 2025 - 20:31:28


Ivan Fauzani Raharja, S.H., M.H., Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi
Ivan Fauzani Raharja, S.H., M.H., Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi /

Radarjambi.co,id- Bencana ekologis yang berulang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukanlah peristiwa kebetulan. Banjir bandang, longsor, rusaknya daerah aliran sungai, serta konflik ruang hidup masyarakat adalah akumulasi dari luka alam yang diciptakan secara sistematis. Luka itu tidak hanya lahir dari proses alamiah, tetapi juga dari kegagalan manusia terutama negara dan pelaku usaha dalam mengelola hutan dan pertambangan secara bertanggung jawab.

Di balik jargon pembangunan dan legalitas perizinan, tersimpan satu masalah besar: ilusi kepatuhan regulasi lingkungan. Di atas kertas, Indonesia tampak memiliki sistem hukum lingkungan yang lengkap. Namun di lapangan, kepatuhan sering berhenti pada dokumen, bukan pada praktik. Inilah substansi yang mendesak bagi tobat ekologis: kesadaran kolektif untuk mengakui kesalahan struktural dan mengubah arah kebijakan sebelum luka alam berubah menjadi kehancuran permanen.

Luka Alam di Sumatera: Jejak Eksploitasi Kehutanan dan Pertambangan

Hutan-hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejatinya berfungsi sebagai benteng ekologis: pengatur tata air, penyangga kehidupan, dan pelindung dari bencana. Namun fungsi ini terus dilemahkan oleh alih fungsi kawasan hutan, konsesi kehutanan bermasalah, serta pertambangan yang masuk hingga ke wilayah hulu dan kawasan lindung.

Padahal, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kenyataannya, penguasaan negara sering dimaknai sebagai pemberian izin seluas-luasnya, bukan pengendalian demi keberlanjutan.

Dalam sektor kehutanan, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan. Namun, pembalakan liar, pelepasan kawasan hutan, dan lemahnya pengawasan membuat norma hukum ini kehilangan daya. Di sektor pertambangan, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang diubah melalui UU Cipta Kerja kerap dikritik karena memperlonggar kontrol lingkungan dan memperlemah posisi masyarakat terdampak.

Ilusi Kepatuhan: Ketika Izin dan AMDAL Menjadi Formalitas

Salah satu akar persoalan terbesar adalah kepatuhan semu. Banyak usaha kehutanan dan pertambangan secara administratif tampak patuh: memiliki izin, menyusun AMDAL, dan melaporkan dokumen lingkungan. Namun di lapangan, kerusakan tetap terjadi. AMDAL yang seharusnya menjadi instrumen pencegahan justru sering berubah menjadi dokumen legitimasi proyek. Hal ini bertentangan dengan semangat UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menempatkan AMDAL sebagai dasar pengambilan keputusan, bukan sekadar syarat administratif.

Permasalahan ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dan sanksi. Banyak pelanggaran hanya berujung pada teguran administratif, meskipun Pasal 76–80 UU PPLH membuka ruang sanksi berat hingga pencabutan izin dan pidana. Akibatnya, hukum kehilangan fungsi pencegah dan memberi sinyal keliru bahwa kerusakan lingkungan adalah risiko yang dapat “diurus belakangan”.

Krisis Penegakan Hukum Lingkungan

Krisis lingkungan di Indonesia sesungguhnya adalah krisis penegakan hukum. Regulasi cukup banyak, tetapi implementasi timpang. Kepentingan ekonomi dan politik kerap mengalahkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Dalam sektor pertambangan, misalnya, kewajiban reklamasi dan pasca-tambang sebagaimana diatur dalam PP Nomor 96 Tahun 2021 sering diabaikan. Lubang tambang dibiarkan menganga, mencemari air dan mengancam keselamatan warga. Di sektor kehutanan, pelepasan kawasan dan perizinan berusaha berbasis risiko pasca-UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memunculkan kekhawatiran makin melemahnya perlindungan ekologis. Negara tampak hadir dalam pemberian izin, tetapi absen dalam pengawasan dan pemulihan.

Tobat Ekologis: Dari Kesadaran Moral ke Reformasi Struktural

Tobat ekologis bukan sekadar narasi moral atau simbolik. Ia menuntut perubahan cara pandang negara dan masyarakat terhadap alam. Tobat ekologis berarti mengakui bahwa kerusakan yang terjadi adalah hasil pilihan kebijakan dan praktik ekonomi, bukan semata takdir alam. Tobat ekologis juga berarti kembali pada mandat konstitusi dan hukum: menjadikan kelestarian lingkungan sebagai syarat mutlak perizinan, bukan pelengkap; mengakhiri ilusi kepatuhan administratif; menempatkan keselamatan ekologis dan masyarakat sebagai ukuran keberhasilan pembangunan.

Jalan Ke Depan: Dari Ilusi Menuju Kepatuhan Sejati

Untuk mencegah luka alam semakin dalam, beberapa langkah mendesak perlu dilakukan: (1) Reformasi Perizinan Kehutanan dan Pertambangan: Perizinan harus berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan, sebagaimana prinsip UU PPLH, bukan semata logika investasi. (2) Penegakan Hukum Tanpa Tawar: Negara harus berani mencabut izin, memulihkan lingkungan, dan menindak pidana pelaku perusakan, tanpa pandang kekuatan modal. (3) Penguatan Pengawasan dan Transparansi: Akses publik terhadap data perizinan, AMDAL, dan kepatuhan perusahaan harus dibuka, sejalan dengan prinsip partisipasi masyarakat. (4) Pemulihan Ekologis sebagai Kewajiban Negara dan Korporasi: Rehabilitasi hutan, DAS, dan wilayah bekas tambang harus menjadi prioritas, bukan pilihan sukarela.

Penutup: Menjaga Alam, Menjaga Masa Depan

Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memberi kita pelajaran mahal: ketika alam dilukai, manusia menuai bencana. Tobat ekologis adalah titik balik—bukan hanya untuk merenung, tetapi untuk bertindak. Jika negara terus terjebak dalam ilusi kepatuhan regulasi, maka luka alam akan semakin melebar. Namun jika hukum ditegakkan, izin diperketat, dan alam ditempatkan sebagai subjek yang harus dilindungi, maka bencana dapat dicegah dan keadilan ekologis bisa diwujudkan. Menjaga alam bukan menghambat pembangunan. Justru itulah syarat agar pembangunan tidak berubah menjadi kehancuran. ”Negara Harus HADIR dalam mengatasi Penderitaan RAKYAT” (Ivan Fauzani Raharja, S.H., M.H., Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi)