Perlawanan Perempuan terhadap Patriarki dalam Cerpen Namaku Hiroko Karya Nh

Kamis, 27 November 2025 - 10:58:06


Santi Sartika
Santi Sartika /

Radarjambi.co.id-Cerpen Namaku Hiroko karya Nh. Dini menghadirkan potret perempuan yang berusaha menegakkan identitas dan kebebasan dirinya dalam masyarakat yang masih didominasi oleh nilai patriarki.

Tokoh Hiroko, seorang perempuan Jepang yang menikah dan tinggal di Indonesia, digambarkan mengalami pergulatan batin ketika berhadapan dengan aturan sosial, struktur keluarga, dan ekspektasi gender yang membatasi ruang geraknya sebagai individu.

Melalui tokoh ini, Nh. Dini tidak hanya menampilkan kisah personal, tetapi juga kritik terhadap sistem sosial yang memosisikan perempuan sebagai pihak yang harus mengalah, berkorban, dan tunduk pada norma budaya yang dikonstruksikan oleh patriarki.

Dalam kerangka teori feminisme liberal, pengalaman Hiroko dapat dibaca sebagai bentuk resistensi terhadap ketidaksetaraan gender. Feminisme liberal berasumsi bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kemampuan rasional yang setara, sehingga perempuan berhak mendapat kesempatan yang sama dalam pendidikan, pekerjaan, kebebasan memilih, serta ruang publik (Tong, 2009).

Namun, pengalaman Hiroko menunjukkan bahwa kesempatan tersebut tidak selalu dapat diwujudkan karena adanya kontrol budaya dan relasi kuasa dalam rumah tangga. Hal ini terlihat ketika Hiroko mulai mempertanyakan hubungan pernikahannya yang memberi porsi kuasa lebih besar kepada suaminya. Ia berkata:

“Kadang-kadang aku merasa tidak lagi menjadi diriku sendiri. Aku seperti bayangan yang mengikuti seseorang, bukan perempuan merdeka seperti dulu.”
(Nh. Dini, 1990: 37)

Kutipan ini menandai kesadaran diri Hiroko bahwa perannya dalam rumah tangga tidak lagi memberi ruang bagi otonomi personalnya. Ia merasa kehilangan identitas, sebuah fenomena yang banyak dialami perempuan dalam struktur patriarki yang menempatkan perempuan bukan sebagai subjek, tetapi sebagai pelengkap kehidupan laki-laki.

Selain kehilangan identitas, bentuk pengekangan terhadap perempuan tampak melalui pembatasan peran sosial. Hiroko ingin kembali bekerja dan menjalani kehidupan profesional sebagaimana sebelum menikah, namun keinginannya dibenturkan dengan pandangan suami dan masyarakat bahwa perempuan seharusnya fokus pada rumah dan keluarga.

Feminisme liberal memandang bahwa pembatasan akses perempuan ke ruang publik adalah salah satu bentuk diskriminasi struktural (Ollenburger & Moore, 1998). Dalam cerpen ini, pembaca dapat melihat bahwa pencabutan ruang tersebut tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis, karena Hiroko dibuat merasa bersalah jika ia ingin mengembangkan diri di luar peran domestik.

Ketidakadilan tersebut juga tampak dalam bagaimana masyarakat menganggap peran domestik sebagai satu-satunya bentuk “keberhasilan” perempuan. Dalam bagian lain, tokoh Hiroko mencermati bagaimana penghargaan terhadap perempuan selalu dilekatkan pada fungsi pengabdian, bukan pencapaian intelektual atau profesional. Ia merenungkan:

“Mengapa perempuan harus merasa cukup dengan rumah, dapur, dan anak, sementara dunia begitu luas?” (Nh. Dini, 1990: 45)

Pertanyaan ini menunjukkan bahwa Hiroko mulai menyadari keberadaan struktur nilai yang timpang dan membatasi perempuan pada fungsi biologis serta ruang domestik yang serba privat. Pandangan ini sejalan dengan kritik feminisme liberal terhadap konsep domestifikasi perempuan yang dianggap sebagai strategi patriarki untuk mempertahankan dominasi laki-laki dalam ranah publik (Eisenstein, 1981).

Namun, yang menarik dari cerpen ini adalah bahwa Hiroko tidak menerima keadaan tersebut secara pasrah. Terdapat percikan perlawanan yang terus tumbuh dalam dirinya. Ia mempertanyakan norma, menantang batasan, dan mempertimbangkan kembali posisinya sebagai istri.

Kesadaran ini menunjukkan apa yang disebut Wollstonecraft (1792) sebagai “kesadaran moral perempuan” sebuah tahap ketika perempuan mulai memahami bahwa kepatuhan bukanlah kodrat, melainkan konstruksi sosial. Pada salah satu bagian, Hiroko menegaskan:

“Jika menjadi istri berarti kehilangan diriku dan diam terhadap ketidakadilan, mungkin aku harus memilih menjadi diriku sendiri.” (Nh. Dini, 1990: 41)

Pernyataan ini merupakan bentuk perlawanan ideologis terhadap patriarki. Dalam feminisme liberal, pernyataan seperti ini merupakan inti perjuangan: perempuan berhak menentukan hidupnya sendiri tanpa rasa bersalah atau tekanan moral dari institusi sosial (Tong, 2009). Hiroko menjadi simbol perempuan yang mulai menyadari bahwa kebebasan bukan sesuatu yang diberikan, melainkan diperjuangkan.

Dalam konteks sosial budaya Indonesia, perlawanan ini menjadi semakin signifikan karena perempuan sering ditempatkan dalam struktur keluarga yang hierarkis dan bernilai patriarkal. Tak hanya itu, perempuan kerap dibebani ekspektasi untuk menjaga harmoni keluarga meskipun harus mengorbankan kebutuhan dan identitas diri. Melalui Hiroko, Nh. Dini membalikkan konstruksi tersebut dan menawarkan pertanyaan mendasar: apakah harmoni yang dibangun dari kebisuan perempuan dapat disebut harmoni?

Melalui tokoh Hiroko, Nh. Dini memperlihatkan bahwa patriarki tidak hanya bekerja melalui hukum atau struktur negara, tetapi juga melalui bahasa, kebiasaan, dan harapan sosial yang terlihat wajar. Namun, cerpen ini juga menunjukkan bahwa ruang resistensi selalu ada.

Perlawanan Hiroko bukan dalam bentuk pemberontakan agresif, melainkan melalui proses refleksi, kesadaran diri, dan keberanian mempertanyakan ulang nilai-nilai yang selama ini dianggap mutlak. Dengan demikian, cerpen ini tidak hanya menggambarkan penderitaan perempuan dalam patriarki, tetapi juga menjadi teks afirmatif yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk mengambil alih kehidupannya.

Secara keseluruhan, Namaku Hiroko adalah kisah perlawanan yang subtil tetapi tajam. Nh. Dini memperlihatkan bahwa perjuangan perempuan tidak harus hadir dalam bentuk demonstrasi fisik atau penolakan radikal, tetapi dapat melalui tindakan paling sederhana: berani berkata “aku berhak memilih.” Dalam perspektif feminisme liberal, Hiroko adalah potret perempuan yang sedang menapaki jalan menuju kebebasan rasional kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.(*)

 

 

 

Penulis : Santi Sartika (Mahasiswa Magister PBSI UNY)