Radarjambi.co.id-Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia mahasiswa dan pekerja kita saat ini mulai diisi dengan Generasi Z (Gen Z). Bahkan, Generasi Z (Gen Z) di Indonesia merupakan kelompok demografis terbesar saat ini, dengan jumlah mencapai 27,94 persen dari total populasi atau sekitar 74,93 juta jiwa (A’yun, 2025).
Hal ini menjadi perhatian tersendiri untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia, termasuk dalam hal mendesain pembelajaran yang sesuai dengan karakter generasi penerus kita saat ini. Apalagi, sebagian besar Gen Z sudah mulai masuk SMA hingga perguruan tinggi.
Istilah Gen Z merujuk pada manusia dengan kelahiran pada rentang tahun 1996 hingga 2010. McKinsey pada tahun 2018 menerbitkan sebuah riset tentang Gen Z (dapat dilihat pada). Hasil Kajian McKinsey menunjukkan bahwa Gen Z memiliki karakter berikut:
Karakter tersebut tentunya berbeda dengan generasi sebelumnya. Tentunya, kegiatan pengembangan kompetensi bagi Gen Z perlu menjadi perhatian tersendiri. Hasil kajian menunjukkan Gen Z menunjukkan preferensi signifikan terhadap pembelajaran berbasis kolaboratif, interaktif, dan integrasi teknologi digital (Febliza, dkk., 2025).
Merespon kondisi tersebut, ada beberapa prinsip desain pembelajaran kolaboratif dan interaktif yang relevan dengan karakter Gen Z. Beberapa prinsip desain pembelajaran kolaboratif dan interaktif dapat diuraikan sebagai berikut.
Pembelajaran model ini mengedepankan materi, studi kasus, simulasi, atau tugas proyek nyata dan relevan dengan lingkungan kerja. Contoh materi yang berbasis pengalaman dapat berupa studi kasus terkait keterampilan teknis mata kuliah yang dibutuhkan di dunia kerja.
Simulasi beradaptasi dan mengelola emosi (untuk keterampilan mengelola diri), tugas mengidentifikasi kecenderungan perilaku rekan saat berkonflik (untuk keterampilan mengelola hubungan), proyek mendesain sesuatu atau menghasilkan produk tertentu sesuai mata kuliah yang dipelajari.
Personalisasi yang dimaksudkan di sini adalah peserta dapat memilih kebutuhan pembelajarannya dan mendekatkan sumber bahan belajar di pelatihan yang dapat diakses sendiri.
Dalam hal ini, Learning Management System (LMS) berbasis cloud perlu dipersiapkan secara adaptif, sehingga pegawai dapat memilih jalur pelatihan sesuai kebutuhan karir dan minat mereka. Fleksibilitas dalam hal ini bermakna adanya kebebasan pembelajar mengendalikan sendiri pengalaman belajarnya selama pelatihan.
Salah satu contoh penerapannya adalah perlunya penyediaan modul ajar wajib dan pilihan agar peserta bisa mengontrol pengalaman belajarnya sendiri.
Proses pembelajaran Gen Z lebih sesuai jika mengadaptasi strategi microlearning. Microlearning merupakan strategi pembelajaran yang mengutamakan penyampaian informasi dalam bentuk unit kecil dan terfokus, yang biasanya disampaikan dalam waktu singkat.
Biasanya, microlearning lebih efektif untuk mengoptimalkan pembelajaran yang tersegmentasi dan berkelanjutan, mengingat durasi pendek dan format yang lebih mudah diakses.
Biasanya, strategi ini memanfaatkan teknologi digital, seperti aplikasi atau learning management system (lms), untuk menyediakan materi pembelajaran yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja.
Contoh penerapannya adalah penyajian materi secara singkat dalam bentuk video singkat, infografis, atau kuis berdurasi 3–10 menit. Selain itu, materi pelatihan harus dapat diakses melalui perangkat mobile kapan saja dan di mana saja
Gen Z menyukai konten yang bersifat interaktif. Bentuk interaktif dalam pembelajaran dapat menggunakan penambahan elemen gamifikasi.
Apa itu gamifikasi dalam konten pembelajaran? Gamifikasi dalam konten pembelajaran adalah penerapan elemen-elemen permainan, seperti poin, level, tantangan, dan penghargaan, dalam proses belajar. Tujuan utama dari gamifikasi adalah untuk meningkatkan keterlibatan (engagement), motivasi, dan pengalaman peserta didik dalam proses pembelajaran.
Dengan mengubah cara materi disajikan menjadi lebih menarik dan menyenangkan, gamifikasi bertujuan untuk membuat pembelajaran lebih interaktif dan dapat dinikmati oleh peserta didik.
Selain itu, wujud interaktif lainnya bisa berbentuk seperti kuis, polling, diskusi daring, latihan praktis, simulasi individu dan kelompok. Hasil interaksi tersebut terekam dalam sistem lms untuk melihat sejauh mana peserta mencapai tujuan pembelajaran.
Saat ini sudah banyak tersedia aplikasi untuk gamifikasi tersebut, seperti kahoot, quiziz, blooket, mentimeter, yang menawarkan pengalaman belajar interaktif berbasis permainan. .
Gen Z cenderung menyukai hal yang bersifat kolaboratif dengan melibatkan beberapa pihak untu bekerja sama. Fasilitasi kolaborasi tersebut dapat melalui grup online, peer learning, mentoring secara digital, dan diskusi kelompok. Aplikasi kolaborasi dapat digunakan untuk mendukung komunikasi dan proyek bersama seperti Slack, Zoom, atau WhatsApp.
Selama proses pembelajaran, peserta langsung mendapatkan feedback secara langsung setiap modul atau tugas. Umpan balik tersebut dapat berbentuk respon cepat hasil belajar yang dilalui, seperti hasil kuis dan perkembangan jalur pembelajaran yang dilalui. Hal ini merupakan bagian dari apresiasi terhadap peserta didik.
Pembelajaran bai Gen Z yang efektif dilakukan dengan mengombinasikan fleksibilitas, personalisasi, microlearning, gamifikasi, dan pembelajaran berbasis pengalaman. Kegiatan kolaboratif, feedback real-time, serta integrasi dengan media digital juga sangat penting agar program pembelajaran relevan dan optimal bagi Gen Z di dunia kerja modern.
Harapannya, Gen Z dapat optimal mengembangkan pengetahuan dan kompetensinya melalui pembelajaran dengan antusias dan partisipatif. (*)
Penulis : Muhamad Ridwan Septiaji Pengembang Teknologi Pembelajaran di Badiklat PKN BPK RI
Tata Ruang Indonesia: Antara Kebijakan dan Realita di Lapangan01
Kado Untuk Masyarakat, Bupati Tanjabbar Launching Call Center Halo Ustad 112