Tata Ruang Indonesia: Antara Kebijakan dan Realita di Lapangan01

Senin, 21 Juli 2025 - 21:47:48


/

Radarjambi.co.id-Indonesia menghadapi tantangan serius dalam pengendalian penggunaan tanah dan zonasi, kendati adanya payung hukum lewat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 21 Tahun 2021 yang menjadi bagian dari UU Cipta Kerja.

Dengan populasi lebih dari 278 juta jiwa, kebutuhan lahan untuk organisasi, industri, dan fasilitas publik terus meningkat, menimbulkan tekanan berat pada ketersediaan dan fungsi lahan yang ada .

Sejumlah kendala utama menghambat efektivitas pengaturan tata ruang, di antaranya antara kebijakan pembangunan ekonomi yang agresif dan pelestarian lingkungan.

Sering kali izin pembangunan kawasan industri, perumahan elit, bahkan pusat perbelanjaan diberikan di kawasan lindung atau lahan produktif, seperti di Karawang dan Bekasi, dengan mengabaikan fungsi zonasi yang telah ditetapkan .

Ketidaksinkronan kebijakan sektoral dan lemahnya koordinasi antarinstansi memperparah pelanggaran tata ruang yang sistemik.

Selain itu, regulasi dan penegakan hukum dinilai masih lemah. Meski ada aturan lengkap, pelanggaran zonasi banyak terjadi tanpa sanksi tegas, sementara pengawasan pemerintah daerah pun minimal.

Sebagian besar daerah belum membentuk Unit Pengendali Pemanfaatan Ruang (UPPR) yang berperan aktif mengawasi dan menindak pelanggaran, sehingga pelanggaran sering berulang .

Keterbatasan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) juga menjadi persoalan serius. Baru sekitar 122 dari 514 kabupaten/kota memiliki RDTR digital yang terintegrasi dengan sistem perizinan bold (OSS), menyebabkan kurangnya standar teknis yang sah untuk mengatur dan mengawasi pemanfaatan ruang secara tepat .

Akibatnya, pembangunan sering dilakukan di zona yang salah, membahayakan keselamatan dan kelestarian lingkungan.

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang juga menjadi faktor penghambat. Proses pembuatan RDTR dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang kurang membuka dialog ruang publik membuat masyarakat kurang memahami dan mendukung kebijakan tata ruang, sehingga potensi pelanggaran dan resistensi meningkat .

Lebih jauh lagi, konflik kewenangan antar lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah memicu tumpang tindih keputusan terkait tata ruang, memperlambat pelaksanaan kebijakan dan merusak sinergi pembangunan yang terencana.

Ditambah lagi, kekurangan tenaga ahli dan minimnya pelatihan teknis di daerah serta terbatasnya pemanfaatan teknologi mencakup pengawasan ruang di lapangan .

Untuk memperbaiki kondisi ini, perlu adanya harmonisasi kebijakan sektoral dengan tata ruang, penegakan penegakan hukum yang tegas, pembentukan UPPR di seluruh daerah, serta pelibatan aktif masyarakat dalam ruang perencanaan.

Optimalisasi penggunaan teknologi modern dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi kunci untuk mewujudkan penataan ruang yang tertib, adil, dan berkelanjutan demi menjaga keseimbangan pembangunan dan kelestarian lingkungan hidup di Indonesia .(*)

 

 

 

Penulis : Anisa Salsabila mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan