Radarjambi.co.id-Anak nakal akan dibawa ke barak. Begitulah kebijakan terbaru yang dicanangkan Kang Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat. Hal ini tentu saja menuai banyak sorotan, terutama di ranah media.
Kebijakan yang disebut-sebut bertujuan untuk mendisiplinkan anak nakal dengan membawa mereka ke barak dan akan dididik oleh anggota TNI AD ini menjadi lelucon bagi remaja sekarang, terutama gen z. Dalam konten yg beredar seringkali berisi “bawa saya ke barak “atau berbagai komentar “bawa dia ke barak, Pak Dedi.”
Lalu, dimana peran orang tua dalam mendidik kedisiplinan anaknya? Sudah jelas bahwa keluargalah acuan utama seorang anak dalam menumbuhkan karakter dalam dirinya.
Dengan adanya kebijakan ini, apakah orang tua tidak sanggup lagi menangani sikap anak mereka? Jika iya, apakah militer menjadi pelarian yang tepat dalam mendisiplinkan anak?
Anggota DPR RI Denny Cagur berpendapat bahwa kebijakan pelatihan militer yang dibuat Gubernur Jawa Barat itu kurang tepat sasaran.
Menurutnya lebih baik untuk menyelesaikan masalah tersebut secara pribadi karena setiap anak yang bermasalah membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.
"Sebenarnya kita harus menyelesaikan permasalahannya, karena masing-masing siswa itukan permasalahannya berbeda-beda belum tentu berhubungan dengan kedisiplinan," kata Denny Cagur saat ditemui beberapa waktu lalu.
"Jadi permasalahan yang berbeda-beda menurut saya harus diselesaikan dengan masing-masing yang berhubungan dengan disiplin, yang berhubungan dengan moral, dengan etika, dan menurut saya dicari jalan keluar permasalahannya masing-masing siswa. Tidak melulu barak militer menjadi satu-satunya solusi," bebernya.
Apakah membawa anak ke barak memang dibutuhkan?
Dalam proses membentuk karakter anak diperlukan dukungan penuh oleh pihak keluarga sebagai roll model utama. Yang harus dilakukan adalah perbaiki komunikasi di rumah supaya orang tua bisa memahami kebutuhan anaknya, tidak hanya menuntut untuk anak harus disiplin.
Bahkan dalam pelatihan di barak pada suatu momen, Kang Dedi menanayakan langsung tentang kenyamanan tinggal di sana kepada seorang gadis, ia justru memberi pengakuan bahwa lebih nyaman tinggal di barak daripada di rumah sendiri. “nyaman daripada di rumah. Ibu bertengkar terus sama Papa, berisik” ceritanya.
Hal ini menandakan bukan kebijakannya yang harus diubah, melainkan komunikasi dalam keluarga yang perlu dibina.
Mendisiplinkan anak melalui pendekatan militer justru berpotensi menciptakan jarak emosional antara anak dan keluarganya. Anak tidak belajar menyelesaikan konflik secara dialogis, melainkan terpaksa tunduk karena tekanan dan otoritas.
Jika hal ini berlangsung terus-menerus, anak bisa kehilangan kepercayaan pada rumah sebagai tempat aman. Padahal, lingkungan keluarga seharusnya menjadi ruang yang nyaman untuk tumbuh, berekspresi
Anak nakal akan dibawa ke barak. Begitulah kebijakan terbaru yang dicanangkan Kang Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat. Hal ini tentu saja menuai banyak sorotan, terutama di ranah media.
Kebijakan yang disebut-sebut bertujuan untuk mendisiplinkan anak nakal dengan membawa mereka ke barak dan akan dididik oleh anggota TNI AD ini menjadi lelucon bagi remaja sekarang, terutama gen z. Dalam konten yg beredar seringkali berisi “bawa saya ke barak “atau berbagai komentar “bawa dia ke barak, Pak Dedi.”
Lalu, dimana peran orang tua dalam mendidik kedisiplinan anaknya? Sudah jelas bahwa keluargalah acuan utama seorang anak dalam menumbuhkan karakter dalam dirinya.
Dengan adanya kebijakan ini, apakah orang tua tidak sanggup lagi menangani sikap anak mereka? Jika iya, apakah militer menjadi pelarian yang tepat dalam mendisiplinkan anak?
Anggota DPR RI Denny Cagur berpendapat bahwa kebijakan pelatihan militer yang dibuat Gubernur Jawa Barat itu kurang tepat sasaran.
Menurutnya lebih baik untuk menyelesaikan masalah tersebut secara pribadi karena setiap anak yang bermasalah membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.
"Sebenarnya kita harus menyelesaikan permasalahannya, karena masing-masing siswa itukan permasalahannya berbeda-beda belum tentu berhubungan dengan kedisiplinan," kata Denny Cagur saat ditemui beberapa waktu lalu.
"Jadi permasalahan yang berbeda-beda menurut saya harus diselesaikan dengan masing-masing yang berhubungan dengan disiplin, yang berhubungan dengan moral, dengan etika, dan menurut saya dicari jalan keluar permasalahannya masing-masing siswa. Tidak melulu barak militer menjadi satu-satunya solusi," bebernya.
Apakah membawa anak ke barak memang dibutuhkan?
Dalam proses membentuk karakter anak diperlukan dukungan penuh oleh pihak keluarga sebagai roll model utama. Yang harus dilakukan adalah perbaiki komunikasi di rumah supaya orang tua bisa memahami kebutuhan anaknya, tidak hanya menuntut untuk anak harus disiplin.
Bahkan dalam pelatihan di barak pada suatu momen, Kang Dedi menanayakan langsung tentang kenyamanan tinggal di sana kepada seorang gadis, ia justru memberi pengakuan bahwa lebih nyaman tinggal di barak daripada di rumah sendiri. “nyaman daripada di rumah. Ibu bertengkar terus sama Papa, berisik” ceritanya.
Hal ini menandakan bukan kebijakannya yang harus diubah, melainkan komunikasi dalam keluarga yang perlu dibina.
Mendisiplinkan anak melalui pendekatan militer justru berpotensi menciptakan jarak emosional antara anak dan keluarganya. Anak tidak belajar menyelesaikan konflik secara dialogis, melainkan terpaksa tunduk karena tekanan dan otoritas.
Jika hal ini berlangsung terus-menerus, anak bisa kehilangan kepercayaan pada rumah sebagai tempat aman. Padahal, lingkungan keluarga seharusnya menjadi ruang yang nyaman untuk tumbuh, berekspresi, dan belajar memperbaiki kesalahan dengan bimbingan penuh empati.
Pendidikan karakter bukan semata soal ketegasan, melainkan kombinasi dari kasih sayang, konsistensi, dan keterlibatan aktif orang tua dalam kehidupan anak. Barak bisa menjadi tempat pelatihan fisik dan kedisiplinan, tetapi bukan tempat penyembuhan luka batin akibat relasi keluarga yang rusak.
Yang dibutuhkan anak bukan bentakan atau barikade, melainkan pelukan dan percakapan yang hangat. Maka, alih-alih menyalahkan anak dan mengirimnya ke barak, lebih bijak jika orang tua berkaca dan mulai membenahi pola pengasuhan di rumah.
Tugas menjadi orang tua menjadi pekerjaan seumur hidup yang tak pantas diserahkan kepada anggota militer. dan belajar memperbaiki kesalahan dengan bimbingan penuh empati.
Pendidikan karakter bukan semata soal ketegasan, melainkan kombinasi dari kasih sayang, konsistensi, dan keterlibatan aktif orang tua dalam kehidupan anak. Barak bisa menjadi tempat pelatihan fisik dan kedisiplinan, tetapi bukan tempat penyembuhan luka batin akibat relasi keluarga yang rusak.
Yang dibutuhkan anak bukan bentakan atau barikade, melainkan pelukan dan percakapan yang hangat. Maka, alih-alih menyalahkan anak dan mengirimnya ke barak, lebih bijak jika orang tua berkaca dan mulai membenahi pola pengasuhan di rumah.
Tugas menjadi orang tua menjadi pekerjaan seumur hidup yang tak pantas diserahkan kepada anggota militer.(*)
Penulis : Fabbela Phakisyah, mahasiswi Universitas Ahmad Dahlan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Guru dan Infrastruktur: Pilar Penting yang Sering Terabaikan dalam Pendidikan
"Menumbuhkan Potensi Anak: Perspektif Maslow dalam Totto-chan
Analisis Pendidikan Berbasis Alam Menggunakan Ekokritik Teori William Ruckert
Komitmen Transparansi dan Informatif,Walikota Maulana Diapresiasi Forum Pempred Multimedia Indonesia