Dalam Diam, Trauma Berbicara

Rabu, 02 Juli 2025 - 20:09:00


Maharani Qalbi Ali
Maharani Qalbi Ali /

Radarjambi.co.id-Bayangkan hidup di sebuah pulau yang perlahan-lahan kehilangan segalanya: benda-benda sehari-hari, hewan peliharaan, bunga, bahkan kata-kata. Namun yang paling menakutkan bukanlah kehilangan itu sendiri, melainkan ketidakmampuan untuk mengingat apa yang pernah ada. Inilah dunia yang dibangun Yoko Ogawa dalam novel distopia The Memory Police—sebuah dunia sunyi, penuh kehampaan, dan diam-diam mencekam.

Namun, lebih dari sekadar cerita fiksi tentang pelupaan massal, The Memory Police adalah kisah yang menyimpan lapisan psikologis yang dalam. Lewat pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud, kita bisa membongkar realitas bawah sadar dalam novel ini: tentang represi, trauma, dan bagaimana manusia terus berjuang mempertahankan jati dirinya dalam diam.

Sastra selalu lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah refleksi terdalam dari kondisi jiwa manusia. Dalam dunia Freud, karya seni seperti sastra dipahami sebagai jalan menuju alam bawah sadar—tempat dorongan terdalam, konflik batin, dan trauma tersembunyi manusia bersemayam. Dalam The Memory Police, Yoko Ogawa menyampaikan pergolakan batin yang tidak terucap melalui metafora pelupaan dan penghapusan simbol.

Pulau dalam cerita ini bukan sekadar latar. Ia adalah cerminan kondisi psikologis manusia yang hidup dalam represi sistematis. Ketika satu per satu benda "menghilang", bukan hanya realitas fisik yang berubah, tetapi juga struktur ingatan, emosi, bahkan bahasa masyarakat. Dunia ini menjadi laboratorium ideal untuk menerapkan pisau analisis psikoanalisis Freud.

Freud membagi kepribadian manusia menjadi tiga: id (insting dan dorongan), superego (nilai dan larangan moral), dan ego (penengah yang berusaha menjaga keseimbangan antara keduanya). Dalam dunia yang dibangun Ogawa, ketiganya saling berkonflik secara kolektif.

Ketika masyarakat dipaksa melupakan sesuatu, ada dorongan alamiah dari id untuk mempertahankan apa yang dulu pernah mereka cintai atau kenali. Namun superego—yang dalam cerita ini diwujudkan secara brutal melalui memory police—menghukum setiap bentuk ingatan. Maka ego pun berada dalam tekanan hebat, memaksa diri untuk menyesuaikan realitas baru demi bertahan hidup.

Inilah yang disebut represi dalam teori Freud: ketika ingatan, keinginan, atau trauma ditekan masuk ke alam bawah sadar agar tidak menimbulkan konflik dalam diri. Tapi represi tidak pernah benar-benar menghapus. Ia justru menyelinap kembali dalam bentuk mimpi, gangguan psikis, atau—seperti dalam novel ini—suasana aneh yang tidak bisa dijelaskan: kehampaan, kecemasan, dan keterasingan.

Memory police bukan hanya polisi dalam pengertian biasa. Mereka adalah kekuatan psikologis yang merasuki masyarakat. Mereka membungkam ingatan, melarang emosi, dan menghancurkan bahasa. Dalam kacamata psikoanalisis, mereka adalah superego kolektif—manifestasi dari norma sosial yang ekstrem dan represif, yang tidak memberi ruang pada ekspresi diri.

Ketika superego terlalu kuat, manusia akan kehilangan kemampuan untuk melawan. Mereka hidup dalam rasa takut dan rasa bersalah, bahkan ketika mereka tidak tahu apa yang sebenarnya mereka langgar. Inilah yang terjadi dalam novel: masyarakat menjadi pasrah dan patuh, tidak karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka tidak bisa lagi merasa. Mereka telah kehilangan bahasa untuk memahami penderitaan mereka sendiri.

“Saya”: sang penulis dan ego yang berusaha bertahan Tokoh utama novel ini adalah seorang perempuan yang tidak pernah disebut namanya—ia hanya dikenal sebagai “saya”. Ia adalah penulis, seseorang yang pekerjaannya justru berpusat pada kata-kata dan makna, dua hal yang pelan-pelan dihancurkan oleh memory police.

Tokoh “saya” bisa dilihat sebagai representasi dari ego yang terhimpit. Ia berada di antara dorongan bawah sadar untuk mengingat dan tekanan sosial untuk melupakan. Dalam upayanya untuk bertahan, ia menulis.

Menurut Freud, menulis adalah bentuk sublimasi—proses mengubah dorongan atau trauma bawah sadar menjadi karya seni. Lewat tulisan-tulisannya, tokoh “saya” berusaha memelihara identitasnya dan menghadapi kehilangan yang terus menghantuinya.

Salah satu bagian paling simbolik dalam novel ini adalah ketika tokoh “saya” menyembunyikan editornya, R, di ruang bawah tanah rumahnya. R dikejar memory police karena ia masih bisa mengingat. Ruang rahasia ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat persembunyian fisik, tetapi juga sebagai simbol dari alam bawah sadar—tempat di mana semua hal yang tidak diterima oleh dunia luar disimpan.

R sendiri merepresentasikan sisi diri tokoh utama yang masih menyimpan kebenaran dan kenangan. Dengan melindungi R, tokoh “saya” sebenarnya sedang berusaha menyelamatkan sisi terdalam dari dirinya sendiri yang belum sepenuhnya musnah.

Hal paling menyeramkan dalam dunia The Memory Police bukan hanya hilangnya benda, tapi juga hilangnya kata. Ketika sesuatu “dihapus”, masyarakat tak hanya kehilangan benda tersebut, tetapi juga kata untuk menyebutnya. Ini adalah bentuk represi simbolik—ketika bahasa sebagai penghubung antara alam sadar dan bawah sadar ikut musnah.

Dalam pandangan Freud, bahasa adalah alat penting untuk menyampaikan isi batin. Jika bahasa untuk suatu pengalaman hilang, maka pengalaman itu berisiko hilang pula dari kesadaran. Itulah yang terjadi di novel: ketika tidak ada kata untuk menamai sesuatu, maka kita tidak hanya kehilangan benda itu, tapi juga bagian dari diri kita yang pernah terhubung dengannya.

Yang paling mengerikan dalam novel ini bukan memory police itu sendiri, tapi bagaimana masyarakat menerima keadaan tersebut dengan tenang. Mereka kehilangan, namun tidak berduka. Mereka melupakan, namun tidak mempertanyakan. Inilah puncak dari represi psikologis: ketika trauma tidak lagi dikenali sebagai trauma.

Ketenangan yang muncul bukan karena kedamaian, melainkan karena keterasingan dari diri sendiri. Novel ini dengan lihai menggambarkan bagaimana sistem represif tidak hanya bekerja lewat kekerasan fisik, tetapi melalui penghapusan makna yang pelan-pelan menggerogoti jiwa manusia.

Lewat lensa psikoanalisis Freud, The Memory Police bukan hanya novel tentang dunia fiksi, tapi juga tentang dunia batin manusia yang terluka. Yoko Ogawa memperlihatkan bahwa trauma, meskipun ditekan, tidak akan pernah benar-benar hilang. Ia akan hidup dalam simbol, dalam ruang rahasia, dalam tulisan, dan dalam keheningan yang terus mengganggu.

Tokoh “saya” menjadi simbol dari perjuangan manusia mempertahankan jati diri dalam dunia yang menginginkan kepatuhan total. Novel ini mengajarkan bahwa dalam kondisi seburuk apapun, alam bawah sadar manusia akan tetap berusaha mempertahankan apa yang pernah ada: memori, identitas, dan harapan.

The Memory Police adalah pengingat bahwa represi, betapapun halus atau sistematis, tidak akan pernah bisa benar-benar memadamkan cahaya kecil yang menyala di kedalaman jiwa manusia.(*)

 

 

 

Penulis : Maharani Qalbi Ali Mahasiswi  universitas andalas,