Radarjambi.co.id-Novel The Memory Police karya Yoko Ogawa menampilkan kehidupan distopia di mana benda-benda dan konsep perlahan-lahan menghilang dari ingatan dan kenyataan masyarakat.
Proses ini mencerminkan represi psikologis yang dialami baik oleh individu maupun komunitas. Dengan teori psikoanalitik Freud, tulisan ini menganalisis kehilangan memori sebagai lambang dari trauma yang ditekan, pengaruh superego yang mendominasi, hingga keterasingan identitas. Diungkap pula rapuhnya bahasa dan kesadaran dalam masyarakat yang penuh tekanan.
Yoko Ogawa adalah salah satu penulis Jepang kontemporer yang mahir memadukan tema psikologis, absurditas sunyi, dan alegori sosial. The Memory Police diterbitkan pada 1994 dalam bahasa Jepang dan diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 2019.
Novel ini bercerita tentang sebuah pulau tak bernama yang setiap waktu mengalami “kehilangan” burung, bunga, parfum, hingga konsep abstrak seperti kalender dan foto.
Ketika kehilangan terjadi, semua warga harus menyerahkan benda terkait untuk dimusnahkan, kemudian perlahan-lahan lupa bahwa benda itu pernah ada. Proses ini diawasi oleh lembaga represif yang disebut Polisi Memori.
Kisah yang tampak fantastis ini sebenarnya berbicara banyak tentang kecemasan kolektif, trauma sejarah, dan cara manusia mengelola rasa kehilangan. Dalam masyarakat yang ditekan secara konstan, represi menjadi strategi psikologis untuk bertahan, sekaligus sumber alienasi mendalam.
Freud menyatakan bahwa represi bukan hanya penghindaran, melainkan penguburan pengalaman traumatik ke dalam ketidaksadaran. Namun, yang ditekan tidak pernah benar- benar punah: ia bisa muncul kembali dalam bentuk simbol, gejala, atau dorongan yang mengganggu.
Perspektif psikoanalisis Freud memungkinkan pembacaan novel ini sebagai peta konflik batin antara hasrat mempertahankan ingatan dan ketakutan pada kekuasaan yang mengontrolnya.
Dalam kerangka ini, represi (repression) menjadi salah satu mekanisme pertahanan ego yang paling mendasar. Freud mendefinisikan represi sebagai proses mental untuk “mengusir” pikiran, kenangan, atau dorongan yang dianggap tidak dapat diterima atau mengancam keseimbangan psikis, sehingga dimasukkan ke ketidaksadaran. Dalam tulisannya “Repression” (1915), Freud menyebutkan:“Represi adalah proses yang mempertahankan sesuatu dalam ketidaksadaran.”
Namun, represi tidak menghapus keberadaan isi pikiran yang ditekan. Freud menekankan bahwa yang direpresi akan tetap aktif di bawah sadar dan akan mencari jalan untuk muncul kembali, meskipun dalam bentuk tersamar: gejala neurotik, mimpi, slip of the tongue, atau ekspresi simbolik lain. Dalam The Ego and the Id (1923), Freud menyatakan: “Apa yang ditekan terus eksis dalam ketidaksadaran dan bisa kembali dalam wujud yang menyamar.”
Dengan kata lain, represi bukanlah pelupaan yang netral, melainkan penangguhan kesadaran yang diiringi ketegangan laten. Ketika masyarakat dalam The Memory Police “melupakan” benda-benda secara massal, mereka sebenarnya menyingkirkan pengalaman traumatik—kehilangan makna dan kepastian eksistensial—ke lapisan bawah sadar. Proses ini menciptakan kondisi yang tampak damai di permukaan, tetapi sarat kecemasan tersembunyi.
Perspektif psikoanalisis Freud memungkinkan pembacaan novel ini sebagai peta konflik batin antara hasrat mempertahankan ingatan—yang menjadi fondasi identitas—dan ketakutan terhadap kekuasaan yang memaksa pelupaan.
Ketika superego kolektif yang diwakili Polisi Memori menjadi terlalu dominan, ego individu tertekan dan tak lagi mampu membedakan yang nyata dari yang dikonstruksi.
Akibatnya, represi berubah menjadi keterasingan radikal: manusia kehilangan bukan hanya benda-benda, tetapi juga bagian terdalam dari diri mereka sendiri.
Dengan demikian, The Memory Police dapat dipahami sebagai alegori mendalam tentang bagaimana kekuasaan eksternal mampu mengendalikan kesadaran dan ketidaksadaran, serta tentang konsekuensi psikologis represi yang dibiarkan menjadi norma.
Novel ini menunjukkan bahwa pertaruhan atas memori bukan sekadar persoalan sejarah, melainkan persoalan eksistensial: tanpa ingatan, manusia kehilangan jati diri.
Dalam psikologi Freud, represi (repression) adalah proses mental yang menyingkirkan pikiran atau ingatan yang tidak dapat diterima oleh ego. Ketika trauma, rasa bersalah, atau ketakutan menjadi terlalu kuat, ego “menekan” isi pikiran itu ke alam bawah sadar.
Pada tingkat masyarakat, represi bisa berubah menjadi ritual bersama yang seolah-olah logis. Dalam The Memory Police, saat burung lenyap, semua orang membuka sangkar dan membiarkan mereka pergi tanpa protes:
“Burung telah menghilang. Tak ada yang bertanya mengapa atau ke mana perginya. Kami hanya membuka sangkar dan membiarkan mereka terbang.” (Ogawa, 2019: 9)Penggambaran ini menekankan bahwa represi dalam novel bukan hanya tindakan individu, melainkan menjadi kebiasaan kolektif.
Masyarakat bersepakat melupakan demi mempertahankan “kedamaian” semu. Dalam realitas sehari-hari, fenomena ini dapat disamakan dengan cara negara atau kelompok sosial menghapus ingatan sejarah yang memalukan atau traumatis.
Freud menekankan bahwa represi selalu berhubungan dengan dorongan ketidaksadaran. Trauma yang ditekan tidak hilang, tetapi terus memengaruhi sikap dan perilaku individu. Dalam novel, ketakutan pada Polisi Memori adalah energi bawah sadar yang memaksa semua orang bersikap patuh.
Freud memisahkan kepribadian manusia menjadi id, ego, dan superego. Id adalah pusat naluri primitif, ego adalah mediator realitas, sedangkan superego adalah penginternalan norma, nilai, dan larangan sosial. Dalam The Memory Police, Polisi Memori adalah proyeksi eksternal
dari superego represif yang tak henti mengawasi dan menghukum. Mereka bukan sekadar polisi yang merampas benda, tetapi juga “penjaga moral” kolektif:“Mereka datang di malam hari.
Mereka mengambil barang-barang yang telah hilang dan siapa pun yang menyembunyikannya akan dibawa pergi.” (Ogawa, 2019: 27)Superego dalam novel bekerja dengan cara menumbuhkan rasa takut dan rasa bersalah.
Warga yang mempertahankan kenangan diperlakukan sebagai penjahat. Akibatnya, represi bukan hanya tindakan defensif, tetapi menjadi bentuk kepatuhan yang diinternalisasi.
Individu merasa bersalah ketika mereka masih memiliki ingatan.Freud menulis bahwa superego terbentuk dari suara otoritas—orangtua, agama, atau institusi kekuasaan. Ketika superego tumbuh terlalu kuat, individu menjadi kehilangan kebebasan psikis, dan seluruh kehidupannya terpenjara oleh larangan-larangan internal.
Di tengah masyarakat yang patuh, muncul karakter R, seorang editor yang tidak kehilangan ingatan. R menjadi simbol ego yang berusaha menjaga realitas objektif dan identitas diri.
Ia adalah satu-satunya yang masih dapat mengenali benda-benda yang lenyap. Karena itu, ia menjadi ancaman bagi tatanan kolektif yang bergantung pada lupa.
Narator, yang bekerja sebagai penulis, memutuskan menyembunyikan R di ruang rahasia rumahnya. Keputusan ini adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap superego represif:
“Aku merasa aku harus melindunginya, karena ingatannya adalah satu-satunya yang mengikatku pada dunia yang pernah ada.” (Ogawa, 2019: 65)
Menurut Freud, ego selalu terjepit antara tuntutan id (naluri), realitas, dan tekanan superego. Dalam kisah ini, narator memilih mempertahankan bagian realitas yang sudah hampir punah. Upaya melindungi R adalah tindakan mempertahankan integritas psikis di tengah desakan totalitarian.
Freud berpendapat bahwa ketidaksadaran sering muncul dalam bahasa simbolik: mimpi, fantasi, atau slip of the tongue. Dalam novel, bahasa juga menjadi medan penghilangan.
Ketika benda lenyap, kata-kata yang merujuknya ikut menguap. Lama-kelamaan, masyarakat kehilangan kosakata dan kemampuan narasi:“Kata-kata itu menghilang seperti salju yang mencair. Tidak ada lagi cerita.” (Ogawa, 2019: 132)
Ini menunjukkan bahwa represi tidak hanya menghapus memori, tetapi juga merusak jembatan yang menghubungkan kesadaran dengan ketidaksadaran. Saat bahasa lenyap, manusia kehilangan alat untuk memahami dirinya sendiri. Proses ini menciptakan kehampaan identitas.
Pada akhirnya, hilangnya kata berarti hilangnya kemungkinan untuk berpikir kritis atau memberontak. Dalam konteks psikoanalisis, bahasa adalah alat ego untuk menafsirkan pengalaman, termasuk trauma. Ketika bahasa dilumpuhkan, individu pun tercerabut dari akarnya.
Novel ini menunjukkan konsekuensi akhir represi yang tak terkendali: alienasi mendalam. Warga pulau tidak lagi mampu mengingat apa yang hilang, tetapi juga tidak mampu merasa kehilangan.
Ketika narator mencoba mengenang masa lalu, ia merasakan kehampaan total:“Aku mencoba mengingat bentuknya, rasanya, suaranya. Tapi semuanya lenyap, seperti pasir yang lolos di antara jari-jari.” (Ogawa, 2019: 84)
Freud meyakini bahwa trauma yang ditekan akan terus menghantui individu. Dalam novel, ini tercermin pada suasana hampa, kesunyian, dan hilangnya makna. Masyarakat yang hidup dalam ketidaksadaran kolektif tak hanya kehilangan masa lalu, tetapi juga masa depan karena tidak ada ingatan yang bisa diwariskan.
Meski The Memory Police berakar dalam konteks Jepang pascaperang trauma Hiroshima, sensor budaya, dan modernisasi yang mengikis nilai lama tema yang diangkat bersifat universal. Negara totalitarian mana pun berpotensi melakukan penghapusan sejarah.
Proses represi kolektif yang Ogawa gambarkan mirip dengan fenomena “pelupaan nasional” di berbagai rezim otoriter. Rezim yang kuat akan menciptakan narasi resmi dan menindas versi lain yang dianggap ancaman.
Psikoanalisis Freud membantu kita melihat bahwa penghapusan itu tidak hanya politis, tetapi juga psikis. Negara otoriter memanipulasi superego kolektif, menciptakan rasa bersalah dan takut, sehingga rakyat akhirnya memilih lupa dari pada menghadapi konflik batin. Selain konflik batin tapi juga psikologis membentuk rasa takut dan bersalah hingga rakyat memilih untuk melupakan.
The Memory Police adalah alegori puitis tentang rapuhnya struktur psikis manusia di bawah tekanan penindasan yang sistematis. Melalui kacamata psikoanalisis Freud, hilangnya benda-benda dalam cerita menjadi simbol represi trauma yang tidak dapat dihadapi secara sadar. Polisi Memori adalah manifestasi superego yang mengawasi dan menghukum, sedangkan tokoh R mencerminkan ego yang berusaha menjaga jejak memori.
Novel ini menunjukkan bahwa represi kolektif, yang semula tampak sebagai mekanisme perlindungan, pada akhirnya menjadi akar alienasi total. Ketika memori dan bahasa dilenyapkan, manusia kehilangan kemampuan memahami siapa diri mereka.
Dalam masyarakat yang seluruhnya ditekan, tidak ada ruang untuk nostalgia, keraguan, atau pemberontakan—hanya kekosongan yang dingin dan sunyi.Melalui kisah ini, Ogawa mengingatkan bahwa pertaruhan atas memori bukanlah hanya pertarungan politik, tetapi pertarungan eksistensial: tanpa ingatan, tak ada identitas, tak ada kemanusiaan.
The Memory Police termasuk pada gambaran puitis tentang betapa rapuhnya manusia ketika ditekan secara sistematis. Dengan pendekatan Freud, novel ini menampilkan bagaimana hilangnya memori melambangkan trauma yang ditekan.
Superego direpresentasikan oleh Polisi Memori, sementara karakter R adalah ego yang berusaha bertahan. Pada akhirnya, novel ini menyampaikan bahwa melupakan bukan hanya tindakan politis, tapi menyangkut eksistensi: tanpa ingatan, manusia kehilangan jati dirinya.(*)
Penulis : Muhammad Yazid Al Ghiffari Mahasiwa universitas andalas,
Ingatan yang Terlarang: Analisis Tokoh “R” dalam Novel Memory Police
Ecocriticism dalam Novel Totto-chan: Analisis Perspektif William Rueckert
Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Madogiwa no Totto-chan Karya Tetsuko Kuroyanagi
Represi dan Alam Bawah Sadar dalam The Memory Police karya Yoko Ogawa
Kebijakan Pendidikan Islam di Era Digital: Tantangan dan Peluang"
SPBUN dan PTPN IV Regional 4 Bantu Operasi Mata Palsu Hafidz Qur'an
Analisis Karakter Tokoh Totto-chan Dalam Tinjauan Sigmund Freud