Radarjambi.co.id-Dalam dunia yang kian dikendalikan oleh kekuasaan dan pelupaan sistematis, novel Polisi Kenangan karya Yoko Ogawa hadir sebagai alegori kuat tentang kontrol terhadap memori dan identitas manusia.
Di tengah atmosfer distopia dan absurd, tokoh “R” menampilkan dimensi psikologis yang kompleks. Ia adalah seorang editor yang berusaha mempertahankan hal-hal yang seharusnya dilupakan, dan karakternya menjadi jembatan antara dunia yang melupakan dan mereka yang masih mengingat.
Teori psikologi sastra Sigmund Freud, dengan fokus pada struktur kepribadian id, ego, dan superego serta mekanisme pertahanan diri, menyediakan lensa yang relevan untuk membedah karakter R. Melalui analisis ini, kita dapat memahami bagaimana tokoh tersebut berkonflik secara internal, menghadapi trauma, dan menolak represi kolektif yang dikendalikan oleh “polisi kenangan.”
Polisi Kenangan berlatar di sebuah pulau tanpa nama, di mana objek-objek, makhluk hidup, dan bahkan konsep abstrak secara tiba-tiba “menghilang.” Penghilangan ini bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis.
Warga secara kolektif melupakan keberadaan benda-benda yang telah “dihapus.” Mereka tidak mempertanyakan proses ini, dan melanjutkan hidup seolah-olah hal-hal tersebut tidak pernah ada. Proses pelupaan ini diawasi dan ditegakkan oleh aparat represif yang disebut “Polisi Kenangan.”
Tokoh utama adalah seorang novelis perempuan tanpa nama yang berusaha menulis di tengah kontrol ketat. Ia mengetahui bahwa R, editornya, adalah salah satu dari sedikit orang yang masih bisa mengingat hal-hal yang “dihapus”. Maka ia menyembunyikan R di rumahnya, menjadikannya simbol perlawanan diam terhadap sistem represif tersebut.
Sigmund Freud memandang perilaku manusia sebagai hasil dari konflik antara tiga struktur kepribadian: Id: insting dasar, dorongan primitif (seks, agresi, kebutuhan). Ego: realitas, penyeimbang antara id dan dunia luar. Superego: norma, moralitas, hati nurani.
Selain itu, Freud memperkenalkan konsep mekanisme pertahanan diri (defense mechanism), seperti represi, regresi, proyeksi, dan rasionalisasi yang bisa digunakan untuk memahami konflik batin tokoh.
Melalui teori ini, kita bisa menganalisis bagaimana tokoh R, yang menjadi minoritas dalam masyarakat pelupa, menyusun ulang pertahanannya, menyimpan trauma, dan menunjukkan dorongan bawah sadar untuk mempertahankan identitas dan makna melalui ingatan.
Pada awalnya, R adalah tokoh yang penuh dengan kontrol diri dan rasionalitas. Ia menjalankan pekerjaannya sebagai editor, menjaga kualitas tulisan, dan berinteraksi dengan tokoh utama dengan sikap profesional.
Namun, fakta bahwa ia masih mengingat benda-benda yang telah dihapus menunjukkan bahwa ia membawa semacam “kesadaran moral” (superego) yang sudah tidak lagi dimiliki oleh masyarakat luas.
Di tengah masyarakat yang secara kolektif “menolak” superego mereka (melalui represi yang dipaksakan), R menjadi anomali. Ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan sistem yang tidak masuk akal. Dalam kerangka Freud, R adalah semacam superego kolektif yang bertahan ia mengingat dan menjaga nilai-nilai yang dilupakan oleh orang lain.
Namun, superego-nya juga perlahan melemah. Terisolasi, tidak bisa keluar rumah, dan bergantung pada tokoh utama dan rumahnya yang sempit, ia secara bertahap mengalami disorientasi dan kehilangan semangat. Konflik batin antara keinginan untuk mengingat (superego) dan dorongan untuk menyerah dan hidup nyaman (id) menciptakan tekanan psikologis yang besar.
Secara naluriah, R tetap berusaha bertahan. Ini merupakan representasi dari id dalam dirinya. Ia menerima makanan, berlindung, dan bersedia bekerja secara diam-diam. Namun, id ini bukan sekadar bertahan hidup secara fisik. Id-nya mendorong dia untuk melawan sistem, menyimpan buku, dan bahkan mencoba membantu tokoh utama untuk memahami makna dari kehilangan yang terus-menerus.
R juga menunjukkan dorongan bawah sadar untuk menolak kondisi masyarakatnya. Ketika tokoh utama merasa tidak nyaman karena kehilangan objek-objek yang disayanginya, R tampak tertekan karena ia tahu bahwa penghapusan itu salah, tapi ia tidak bisa melakukan apa pun selain bersembunyi.
Freud menyatakan bahwa id sering menimbulkan kecemasan karena keinginannya bertabrakan dengan norma. Dalam hal ini, keinginan R untuk tetap mengingat (id) bertabrakan dengan kenyataan bahwa masyarakat akan menangkapnya (realita melalui ego), yang akhirnya membuatnya memilih pelarian diam.
R juga menunjukkan beberapa mekanisme pertahanan diri khas Freud: Represi (penekanan bawah sadar): R tidak menunjukkan emosi secara langsung. Ia tidak pernah benar-benar marah, menangis, atau berteriak. Semua tekanan disimpan dalam diam. Kemungkinan besar, ia menekan rasa takut dan frustrasi karena tidak bisa mengubah keadaan.
Isolasi (pengasingan emosi): Ketika berbicara tentang kehilangan objek, R sering memakai bahasa nasional, bukan emosional. Ia seolah memisahkan fakta dari perasaannya, sebuah bentuk pertahanan diri agar tidak larut dalam kesedihan.
Sublimasi: Ia menyalurkan kecemasannya melalui kegiatan membaca dan menyusun arsip benda-benda yang telah hilang. Ini sesuai dengan teori Freud bahwa sublimasi adalah bentuk pengalihan dorongan menjadi sesuatu yang “diterima.”
Disosiasi: Dalam kondisi tertekan di ruang rahasia, ada saat-saat R terlihat kehilangan arah dan seperti “bukan dirinya.” Ini bisa dibaca sebagai tanda kelelahan mental akibat tekanan berkepanjangan, sesuai dengan gejala disosiasi.
Tokoh R bukan hanya manusia individual, tetapi bisa dibaca sebagai representasi trauma kolektif. Dalam teori Freud, trauma yang tidak terselesaikan akan membentuk luka psikis dan bisa diwariskan dalam bentuk simbol. R mewakili suara-suara yang tidak lagi terdengar dalam masyarakat, yaitu suara yang masih mengingat, mempertanyakan, dan merasakan kehilangan.
Namun, karena tekanan dan penindasan terlalu besar, trauma ini tidak bisa dibebaskan. R akhirnya menjadi semacam “hantu hidup” ada tapi disembunyikan. Ia menjadi bagian dari “ruang bawah sadar” masyarakat yang dilupakan secara kolektif. Freud menyebut ini sebagai “uncanny” atau “das unheimliche” sesuatu yang pernah kita kenal, tapi kini terasa asing dan menakutkan karena ditekan.
Hubungan tokoh utama (novelis) dan R bisa dilihat sebagai bentuk transferensi. Freud menjelaskan transferensi sebagai pemindahan emosi dari satu objek ke objek lain, biasanya sebagai hasil dari trauma atau hubungan masa lalu.
Tokoh utama—yang kehilangan orang tua dan hidup dalam represi—memindahkan harapan, rasa ingin tahu, bahkan cinta platonisnya kepada R. Ia merawatnya, menyembunyikannya, dan menuliskan kembali cerita-cerita yang R edit. Hubungan ini tidak pernah romantis, tetapi sarat makna emosional.
Sebaliknya, R juga tampaknya melihat harapan pada tokoh utama—bahwa masih ada orang di dunia ini yang bisa memahami pentingnya ingatan. Tapi hubungan mereka tragis karena dunia luar semakin runtuh, dan mereka tidak punya kekuatan untuk menyelamatkan satu sama lain dari pelupaan.
Tokoh R dalam Polisi Kenangan adalah potret manusia yang membawa beban ingatan dalam dunia yang melupakan. Dengan menggunakan teori psikoanalisis Freud, kita bisa melihat konflik batin R sebagai konflik antara id, ego, dan superego yang terus-menerus saling tarik-menarik.
R tidak hanya manusia, tapi juga simbol. Ia adalah representasi superego masyarakat yang ditekan; ia menolak untuk menyerah pada pelupaan, namun tak punya daya untuk melawan. Dalam tekanan sistemik yang kuat, R terjebak dalam trauma, mekanisme pertahanan, dan isolasi emosional. Kehadirannya menjadi cermin penderitaan kolektif dan pertanyaan mendalam: apakah kita tetap menjadi manusia ketika memori kita dihapus?
Akhir kisah R adalah tragis, namun penting. Ia menunjukkan bahwa dalam dunia yang dikendalikan oleh pelupaan, satu-satunya bentuk perlawanan sejati adalah dengan mengingat.(*)
Penulis : Nabil Zikri Baihaki Mahasiwa universitas andalas, Prodi Sastra Jepang
Ecocriticism dalam Novel Totto-chan: Analisis Perspektif William Rueckert
Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Madogiwa no Totto-chan Karya Tetsuko Kuroyanagi
Represi dan Alam Bawah Sadar dalam The Memory Police karya Yoko Ogawa
Kebijakan Pendidikan Islam di Era Digital: Tantangan dan Peluang"
SPBUN dan PTPN IV Regional 4 Bantu Operasi Mata Palsu Hafidz Qur'an
Masuk sekolah jam 6 pagi : Meningkatkan Kedisiplinan dan Karakter Kebangsaan
Analisis Karakter Tokoh Totto-chan Dalam Tinjauan Sigmund Freud