Radarjambi.co.id-Novel "Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela" karya Kuroyanagi Tetsuko menyajikan narasi autobiografis yang kaya akan gambaran hubungan harmonis antara alam dan manusia.
Melalui perspektif ekologi sastra William Rueckert, esai ini menganalisis bagaimana novel tersebut menggambarkan interaksi antara karakter utama dengan lingkungan alam di Sekolah Tomoe, serta bagaimana alam berperan sebagai media pembelajaran dan pembentukan karakter.
Dengan pendekatan ecocriticism, penelitian ini mengkaji representasi alam sebagai ruang pedagogis yang memfasilitasi pertumbuhan psikologis dan moral anak, sekaligus mengkritisi sistem pendidikan konvensional yang mengabaikan nilai-nilai ekologis.
Novel ini menunjukkan bahwa hubungan simbiosis antara manusia dan alam dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang holistik dan bermakna. Sastra sebagai cermin kehidupan manusia tidak hanya merekam dinamika sosial dan psikologis, tetapi juga hubungan fundamental antara manusia dengan lingkungan alamnya.
William Rueckert, dalam esainya "Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism" (1978), memperkenalkan konsep ecocriticism sebagai pendekatan kritik sastra yang mengkaji hubungan antara karya sastra dengan lingkungan alam.
Rueckert mendefinisikan ecocriticism sebagai "the application of ecology and ecological concepts to the study of literature" (Rueckert, 1996: 107). Novel "Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela" (1981) karya Kuroyanagi Tetsuko menawarkan perspektif unik tentang pendidikan alternatif yang mengintegrasikan alam sebagai komponen fundamental dalam proses pembelajaran.
Berlatar di Sekolah Tomoe pada era 1940-an di Jepang, novel ini menggambarkan pengalaman masa kecil pengarang yang bersekolah di institusi pendidikan progresif pimpinan Kepala Sekolah Kobayashi.
Dalam kerangka teori Rueckert, alam bukan sekadar latar belakang naratif, melainkan "a living system that interacts dynamically with human consciousness and behavior" (Rueckert, 1996: 108). Sekolah Tomoe dalam novel Totto-chan menjadi representasi ideal dari ekosistem pendidikan yang mengharmonisasikan kebutuhan manusia dengan keberlanjutan alam.
Esai ini akan menganalisis bagaimana novel Totto-chan menggambarkan hubungan simbiosis antara alam dan manusia melalui tiga aspek utama: (1) alam sebagai ruang pedagogis, (2) interaksi ekologis dalam pembentukan karakter, dan (3) kritik terhadap sistem pendidikan yang mengabaikan nilai-nilai ekologis. Kuroyanagi Tetsuko adalah seorang aktris, pembawa acara televisi, dan aktivis kemanusiaan Jepang yang lahir pada 1933. Novel autobiografisnya "Totto-chan" diterbitkan pada 1981 dan menjadi bestseller internasional yang diterjemahkan ke berbagai bahasa. Karya ini ditulis dalam konteks Jepang pascaperang yang sedang mengalami transformasi sosial dan pendidikan.
Latar sosial novel ini mencerminkan periode transisi dalam sistem pendidikan Jepang, dari model tradisional yang rigid menuju pendekatan yang lebih humanis dan progresif. Sekolah Tomoe yang digambarkan dalam novel merupakan eksperimen pendidikan alternatif yang langka pada masanya, terinspirasi oleh filosofi pendidikan Barat yang menekankan kebebasan dan kreativitas anak.
William Rueckert menekankan bahwa dalam perspektif ekologi sastra, alam tidak sekadar berfungsi sebagai setting, melainkan sebagai "teacher and collaborator in the educational process" (Rueckert, 1996: 112). Dalam novel Totto-chan, konsep ini terwujud melalui desain Sekolah Tomoe yang mengintegrasikan ruang kelas dengan lingkungan alam.
Salah satu kutipan yang menggambarkan hal ini adalah: "Ruang kelas kami tidak seperti ruang kelas biasa. Dindingnya dapat dibuka lebar-lebar, sehingga udara segar dan sinar matahari dapat masuk dengan bebas. Kami bisa belajar sambil mendengar kicauan burung dan merasakan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan."
Kutipan ini menunjukkan bagaimana arsitektur sekolah dirancang untuk memfasilitasi interaksi langsung antara siswa dengan elemen-elemen alam. Dinding yang dapat dibuka melambangkan penghapusan batas artificial antara ruang belajar dan lingkungan alami, menciptakan what Rueckert sebut sebagai "permeable boundaries between human and natural systems" (Rueckert, 1996: 115).Konsep "udara segar dan sinar matahari yang masuk dengan bebas" mengindikasikan bahwa proses pembelajaran tidak terisolasi dari siklus alami, melainkan menjadi bagian integral dari ritme ekologis.
Suara "kicauan burung" dan "angin sepoi-sepoi" bukan gangguan, tetapi komponen kurikulum tersembunyi yang menstimulasi indera dan menciptakan lingkungan belajar yang holistik. Interaksi Ekologis dalam Pembentukan Karakter
Rueckert mengemukakan bahwa "ecological thinking recognizes the interconnectedness of all living systems and the importance of maintaining balance and harmony" (Rueckert, 1996: 118). Dalam novel Totto-chan, prinsip ini termanifestasi melalui berbagai aktivitas pembelajaran yang melibatkan interaksi langsung dengan alam.
Salah satu episode yang signifikan adalah ketika Totto-chan dan teman-temannya belajar tentang pertanian: "Kami diberi sebidang tanah kecil untuk ditanami sayuran. Setiap hari, kami menyirami tanaman kami dengan penuh kasih sayang.
Kepala Sekolah berkata, 'Kalian harus belajar bahwa tanaman, seperti manusia, membutuhkan perhatian dan kasih sayang untuk tumbuh dengan baik.'"
Kutipan ini mengilustrasikan penerapan prinsip ekologis dalam pendidikan karakter. Aktivitas berkebun tidak sekadar mengajarkan pengetahuan botani, tetapi menanamkan nilai-nilai fundamental tentang tanggung jawab, empati, dan saling ketergantungan dalam ekosistem.
Metafora yang digunakan Kepala Sekolah - "tanaman, seperti manusia, membutuhkan perhatian dan kasih sayang" - menunjukkan pengakuan terhadap kontinuitas antara dunia manusia dan alam. Hal ini sejalan dengan konsep Rueckert tentang "biocentric worldview" yang menolak antroposentrisme dan mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup.
Proses "menyirami tanaman dengan penuh kasih sayang" mengajarkan siswa untuk mengembangkan what Rueckert sebut sebagai "ecological consciousness" - kesadaran bahwa kesejahteraan manusia tergantung pada kesehatan ekosistem secara keseluruhan. Pembelajaran Melalui Observasi Alam
Novel ini juga menggambarkan bagaimana observasi langsung terhadap fenomena alam menjadi metode pembelajaran yang efektif:
"Suatu hari, kami menemukan sarang burung di pohon yang ada di halaman sekolah. Alih-alih melarang kami mendekatinya, Kepala Sekolah justru mengajak kami untuk mengamati burung-burung itu dari kejauhan. 'Lihatlah bagaimana induk burung merawat anak-anaknya,' katanya. 'Alam adalah guru terbaik bagi kita semua.'"
Kutipan ini menunjukkan penerapan praktis dari filosofi pendidikan ekologis. Kepala Sekolah tidak menggunakan pendekatan didaktik konvensional, melainkan memfasilitasi pembelajaran melalui pengamatan langsung terhadap perilaku alami.
Frasa "Alam adalah guru terbaik bagi kita semua" mengafirmasi posisi alam sebagai sumber pengetahuan yang otentik dan komprehensif. Dalam perspektif Rueckert, ini mencerminkan "recognition of nature as text" - alam sebagai teks yang dapat dibaca dan dipelajari untuk memperoleh wisdom yang tidak tersedia dalam kurikulum formal.
Aktivitas "mengamati burung dari kejauhan" mengajarkan prinsip respect dan non-interference terhadap kehidupan liar, sekaligus memungkinkan siswa untuk belajar tentang perilaku parental dan struktur sosial dalam dunia hewan.
Ini menumbuhkan apa yang Rueckert sebut sebagai "ecological empathy" - kemampuan untuk memahami dan menghargai perspektif makhluk hidup lain. Novel Totto-chan juga menyajikan kritik implisit terhadap sistem pendidikan konvensional yang mengabaikan nilai-nilai ekologis.
"Di sekolah lama, kami harus duduk diam di dalam ruangan yang pengap, menghafal pelajaran tanpa boleh bertanya. Jendela-jendela selalu tertutup, dan kami tidak boleh keluar kecuali saat istirahat yang singkat. Rasanya seperti dikurung dalam kandang."Metafora "dikurung dalam kandang" mengkritisi sistem pendidikan yang memisahkan siswa dari lingkungan alami mereka. Menurut Rueckert, pendekatan ini mencerminkan "ecological alienation" - keterputusan manusia dari akar ekologisnya yang berdampak pada fragmentasi psychological dan spiritual.
"Ruangan yang pengap" dan "jendela-jendela yang selalu tertutup" melambangkan isolasi artificial dari siklus alami seperti sirkulasi udara, cahaya matahari, dan ritme harian. Hal ini bertentangan dengan prinsip ekologis yang menekankan pentingnya koneksi dan pertukaran energi dalam sistem hidup.
Kontras dengan Sekolah Tomoe yang "dindingnya dapat dibuka lebar-lebar" menunjukkan paradigma pendidikan yang berbeda - dari closed system menuju open system yang memungkinkan interaksi dinamis dengan lingkungan.
Novel ini juga menggambarkan bagaimana kontak dengan alam berkontribusi pada kesehatan mental dan emosional siswa: "Ketika aku merasa sedih atau bingung, aku sering duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah. Angin yang berdesir di antara daun-daun seolah membisikkan kata-kata penghiburan.
Pohon itu menjadi sahabat yang selalu mendengarkan keluh kesahku." Kutipan ini mengilustrasikan what Rueckert sebut sebagai "therapeutic function of nature" dalam kehidupan manusia. Pohon tidak sekadar berfungsi sebagai provider oksigen atau shade, melainkan sebagai "companion" yang menyediakan emotional support.
Personifikasi pohon sebagai "sahabat yang selalu mendengarkan" mencerminkan pengakuan terhadap agency dan consciousness dalam dunia alam. Hal ini sejalan dengan pandangan ecocritical yang menolak objektifikasi alam dan mengakui reciprocal relationship antara manusia dan non-human beings.
"Angin yang berdesir di antara daun-daun" yang "membisikkan kata-kata penghiburan" menunjukkan komunikasi non-verbal antara manusia dan alam yang transcends logical language namun tetap meaningful dan healing. Novel ini juga menggambarkan bagaimana pembelajaran melibatkan seluruh indera melalui kontak langsung dengan alam:
"Saat pelajaran sains, kami tidak hanya membaca tentang tanaman dari buku. Kami menyentuh daun-daun dengan jari-jari kami, mencium aroma bunga, dan merasakan tekstur kulit kayu. Kepala Sekolah berkata, 'Pengetahuan yang sesungguhnya datang melalui pengalaman langsung, bukan hanya melalui kata-kata.'"
Kutipan ini menekankan pentingnya embodied learning dalam pendidikan ekologis. Aktivitas "menyentuh daun-daun", "mencium aroma bunga", dan "merasakan tekstur kulit kayu" mengaktifkan multiple sensory channels yang menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif dan memorable.
Pernyataan Kepala Sekolah bahwa "pengetahuan yang sesungguhnya datang melalui pengalaman langsung" mengafirmasi epistemologi ecocritical yang mengutamakan experiential knowledge over abstract conceptualization. Menurut Rueckert, pendekatan ini mengakui bahwa "ecological wisdom emerges from direct participation in natural processes" (Rueckert, 1996: 125).
Novel "Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela" menyajikan visi pendidikan alternatif yang mengintegrasikan nilai-nilai ekologis dalam proses pembelajaran. Melalui analisis ecocritical berdasarkan perspektif William Rueckert, dapat disimpulkan bahwa novel ini menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam yang bersifat reciprocal, respectful, dan restorative.
Sekolah Tomoe berfungsi sebagai model ekosistem pendidikan yang mendemonstrasikan bagaimana integration of natural elements dapat menghasilkan pembelajaran yang lebih holistik, meaningful, dan sustainable. Alam tidak diperlakukan sebagai objek yang harus dikuasai, melainkan sebagai partner yang memberikan wisdom dan healing.
Kritik implisit terhadap sistem pendidikan konvensional yang mengabaikan nilai-nilai ekologis menunjukkan urgensi reformasi pendidikan menuju paradigma yang lebih ecocentric. Novel ini mengadvokasi pendekatan pendidikan yang mengakui interconnectedness semua makhluk hidup dan pentingnya menjaga keseimbangan ekologis untuk kesejahteraan bersama.
Dalam konteks krisis ekologis global saat ini, pesan novel Totto-chan menjadi semakin relevan. Karya ini mengingatkan kita bahwa hubungan harmonis antara manusia dan alam bukan hanya penting bagi pendidikan anak, tetapi juga fundamental bagi survival dan flourishing species manusia di planet ini.(*)
Penulis : Muhammad Radjasa Akbar Mahasiswa universitas andalas,
Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Madogiwa no Totto-chan Karya Tetsuko Kuroyanagi
Represi dan Alam Bawah Sadar dalam The Memory Police karya Yoko Ogawa
Kebijakan Pendidikan Islam di Era Digital: Tantangan dan Peluang"
SPBUN dan PTPN IV Regional 4 Bantu Operasi Mata Palsu Hafidz Qur'an
Masuk sekolah jam 6 pagi : Meningkatkan Kedisiplinan dan Karakter Kebangsaan
Analisis Karakter Tokoh Totto-chan Dalam Tinjauan Sigmund Freud