Pendidikan di NTT: Menyemai Harapan dari Pinggiran Negeri

Rabu, 11 Juni 2025 - 11:28:57


Arif Maulana
Arif Maulana /

Radarjambi.co.id-Di tengah semaraknya wacana reformasi pendidikan nasional, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih berjuang dalam senyap. Wilayah yang kaya akan budaya, alam, dan potensi manusia ini terus bergulat dengan tantangan klasik minimnya akses pendidikan, keterbatasan sarana, serta ketimpangan kualitas antarwilayah.

Namun, justru dari pinggiran seperti NTT inilah, kita bisa memaknai ulang apa arti pendidikan yang sebenarnya dan bukan sekadar sistem, tetapi perjuangan harapan.

Pendidikan di NTT tidak bisa disamakan dengan yang terjadi di kota-kota besar. Di desa-desa pegunungan Timor atau pulau-pulau kecil di Alor dan Lembata, anak-anak harus berjalan kaki berjam-jam melewati bukit dan sungai demi mencapai sekolah.

Guru kerap mengajar dalam kondisi serba terbatas, bahkan masih ada yang menggunakan papan tulis lusuh dan buku ajar fotokopian. Namun, dari keterbatasan itu, kita belajar bahwa semangat belajar tak bergantung pada fasilitas, melainkan pada keinginan untuk maju.

Sayangnya, kebijakan pendidikan nasional masih terlalu sentralistik dan seragam. Kurikulum yang padat dan berbasis standar nasional sering kali tidak relevan dengan kondisi lokal.

Padahal, kearifan lokal NTT seperti budaya gotong royong, cerita rakyat, pertanian lahan kering, hingga konservasi laut dapat menjadi sumber pembelajaran yang kontekstual dan bermakna. Jika pendidikan dimulai dari hal yang dekat dengan keseharian siswa, maka proses belajar akan terasa lebih hidup dan membumi.

Pendidikan kontekstual tidak berarti menutup diri dari dunia luar. Sebaliknya, ia adalah jembatan antara kearifan lokal dan tantangan global. Di Sumba, siswa bisa belajar tentang perubahan iklim melalui realitas kekeringan yang mereka hadapi setiap tahun.

Di Flores, konservasi laut tak cukup diajarkan lewat buku, tetapi lewat praktik langsung bersama nelayan dan penyelam lokal. Pembelajaran seperti ini membentuk kepedulian, keterlibatan, sekaligus identitas.

Selain itu, pendidikan yang membumi juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Ketika isi kurikulum dan metode pengajaran sesuai dengan realitas lokal, orang tua dan tokoh adat lebih mudah terlibat. Proses belajar tak lagi terkungkung di ruang kelas, tetapi meluas ke kebun, laut, dan rumah-rumah warga. Inilah pendidikan seb

Di tengah semaraknya wacana reformasi pendidikan nasional, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih berjuang dalam senyap. Wilayah yang kaya akan budaya, alam, dan potensi manusia ini terus bergulat dengan tantangan klasik minimnya akses pendidikan, keterbatasan sarana, serta ketimpangan kualitas antarwilayah.

Namun, justru dari pinggiran seperti NTT inilah, kita bisa memaknai ulang apa arti pendidikan yang sebenarnya dan bukan sekadar sistem, tetapi perjuangan harapan.

Pendidikan di NTT tidak bisa disamakan dengan yang terjadi di kota-kota besar. Di desa-desa pegunungan Timor atau pulau-pulau kecil di Alor dan Lembata, anak-anak harus berjalan kaki berjam-jam melewati bukit dan sungai demi mencapai sekolah.

Guru kerap mengajar dalam kondisi serba terbatas, bahkan masih ada yang menggunakan papan tulis lusuh dan buku ajar fotokopian. Namun, dari keterbatasan itu, kita belajar bahwa semangat belajar tak bergantung pada fasilitas, melainkan pada keinginan untuk maju.

Sayangnya, kebijakan pendidikan nasional masih terlalu sentralistik dan seragam. Kurikulum yang padat dan berbasis standar nasional sering kali tidak relevan dengan kondisi lokal.

Padahal, kearifan lokal NTT seperti budaya gotong royong, cerita rakyat, pertanian lahan kering, hingga konservasi laut dapat menjadi sumber pembelajaran yang kontekstual dan bermakna. Jika pendidikan dimulai dari hal yang dekat dengan keseharian siswa, maka proses belajar akan terasa lebih hidup dan membumi.

Pendidikan kontekstual tidak berarti menutup diri dari dunia luar. Sebaliknya, ia adalah jembatan antara kearifan lokal dan tantangan global. Di Sumba, siswa bisa belajar tentang perubahan iklim melalui realitas kekeringan yang mereka hadapi setiap tahun.

Di Flores, konservasi laut tak cukup diajarkan lewat buku, tetapi lewat praktik langsung bersama nelayan dan penyelam lokal. Pembelajaran seperti ini membentuk kepedulian, keterlibatan, sekaligus identitas.

Selain itu, pendidikan yang membumi juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Ketika isi kurikulum dan metode pengajaran sesuai dengan realitas lokal, orang tua dan tokoh adat lebih mudah terlibat.

Proses belajar tak lagi terkungkung di ruang kelas, tetapi meluas ke kebun, laut, dan rumah-rumah warga. Inilah pendidikan sebagai proses hidup, bukan sekadar penghafalan materi ujian.

Pemerintah, pemangku kepentingan daerah, dan masyarakat harus duduk bersama merancang pendidikan yang berpihak pada kebutuhan lokal. Pembangunan bukan hanya soal gedung sekolah, tetapi juga penguatan ekosistem belajar.

Guru-guru lokal perlu diberdayakan dengan pelatihan yang adaptif. Teknologi bisa menjadi jembatan untuk menjangkau wilayah terpencil, bukan pengganti interaksi tatap muka yang bernilai kemanusiaan.

NTT tidak kekurangan semangat, tidak pula kekurangan potensi. Yang kurang adalah sistem yang mampu memahami dan mendukung keunikannya. Jika kita sungguh ingin membangun pendidikan yang adil dan merata, maka perhatian serius harus diberikan pada daerah seperti NTT.

Dari pinggiran negeri, harapan itu tumbuh dan menanti untuk disemai menjadi masa depan yang lebih cerahmasa depan yang memberi ruang bagi setiap anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai akarnya.(*)

 

 

Penulis :  Arif Maulana mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan