Rindan Nur Aini

Meninjau Ulang Esensi Perpisahan Sekolah

Posted on 2025-06-09 15:49:52 dibaca 126 kali

Radarjambi co.id-Keputusan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk meniadakan wisuda sekolah melalui Surat Edaran Nomor 43/PK.03.04/KESRA, adalah langkah berani yang patut diapresiasi.

Kebijakan ini, yang mencakup larangan mengadakan wisuda di jenjang pendidikan dasar dan menengah, sejatinya merupakan peninjauan ulang makna perpisahan sekolah di Indonesia.

Saya sangat setuju dengan kebijakan ini, mengingat fenomena wisuda sekolah belakangan ini semakin jauh dari substansi pendidikan dan justru cenderung menjadi ajang kemewahan yang membebani orang tua.

Seperti yang diungkapkan oleh Kompas.com, istilah "wisuda" yang dahulu hanya melekat pada jenjang perguruan tinggi, kini telah merambah hingga Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD).

Perubahan nomenklatur ini sayangnya tidak serta merta diiringi dengan pemaknaan yang sepadan.

Alih-alih menjadi momen refleksi atas capaian akademik dan perjalanan pendidikan, wisuda di jenjang pra-perguruan tinggi kerap kali berujung pada perayaan yang berlebihan dan berdampak pada aspek ekonomi.

Pengalaman yang dibagikan Kompas.com tentang wisuda anak di Australia menjadi cermin yang menarik.

"Dari pengalaman saat wisuda anak ketika SD di Australia, kami diundang dan mendengarkan setiap anak perkembangannya seperti apa. Jadi, merayakan perkembangan anak poinnya. Tidak ada acara makan-makan dan perayaan mewah lainnya," Ucap Dosen Fakultas Psikologi UGM mengutip laman UGM, Jumat (30/6/2023).

Di sana, perayaan kelulusan lebih fokus pada perkembangan anak dan tidak melibatkan kemewahan berlebihan seperti sewa gedung mewah atau seragam mahal.

Justru, inti dari perayaan adalah mendengarkan perkembangan setiap anak, merayakan capaian personal, dan memberikan makna akademis yang sesungguhnya.

Bandingkan dengan realitas di Indonesia, di mana pelaksanaan wisuda di jenjang TK hingga SMA tak jarang mengharuskan orang tua untuk menyewa gedung mewah, membeli atau menyewa baju khusus, dan mengeluarkan biaya lain yang tidak sedikit.

Ironisnya, kemewahan tersebut seringkali tidak memiliki korelasi langsung dengan makna akademik atau pun perkembangan pendidikan siswa. Sebaliknya, ini hanya menjadi seremonial semata yang memberatkan ekonomi keluarga.

Oleh karena itu, keputusan Gubernur Dedi Mulyadi untuk meniadakan wisuda sekolah adalah angin segar yang patut disambut baik.

Wisuda dalam konteks perpisahan sekolah, jika hanya bermuara pada pemborosan dan kemewahan, memang sebaiknya dihilangkan. Ruang untuk perpisahan yang lebih sederhana, namun kaya makna, harus dibuka.

Sudah saatnya kita mencontoh praktik negara lain, seperti Australia, di mana perpisahan sekolah digelar dengan lebih sederhana namun memiliki bobot akademis dan merayakan capaian individu siswa.

Fokus harus dikembalikan pada esensi pendidikan, yakni pengembangan potensi anak, bukan pada kemasan seremonial yang justru menguras sumber daya dan ekonomi.

Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat mengembalikan nilai-nilai kesederhanaan, substansi pendidikan, dan pemerataan dalam setiap perpisahan sekolah di Jawa Barat.

Harapan saya, semoga siswa-siswa di seluruh Indonesia dapat memahami esensi di balik kebijakan ini. Bahwa wisuda, jika hanya menjadi ajang pemborosan dan kemewahan semata, telah kehilangan maknanya.

Sudah saatnya kita mengembalikan makna wisuda atau perpisahan sekolah pada korelasi akademik yang sesungguhnya, di mana capaian belajar dan perkembangan diri siswa menjadi inti perayaan, bukan hura-hura yang tak relevan.

Dengan begitu, setiap perpisahan sekolah akan menjadi momen yang berharga, penuh makna, dan memberdayakan bagi masa depan pendidikan di Indonesia.(*)

 

Penulis : Rindan Nur Aini Mahasiswa UAD Jogya 

Copyright 2018 Radarjambi.co.id

Alamat: Jl. Kol. Amir Hamzah No. 35 RT. 22 Kelurahan Selamat Kecamatan Danau Sipin Kota Jambi, Jambi.

Telpon: (0741) 668844 / 081366282955/ 085377131818

E-Mail: radarjambi12@gmail.co.id